Sabtu, 21 Desember 2013

Jadilah Muslimah shalihah yang berakhlak mulia

Jadilah Muslimah shalihah yang berakhlak mulia

Muslimah shalihah yang berakhlak mulia memiliki beberapa karakteristik yang indah.

Pertama, bertakwa Kepada Allah Subhanallohu wata;allaa dan bisa menjaga dirinya, anak-anaknya, serta harta suaminya. Dalam Al Qur’an Allah Berfirman yang maksudnya,
“Sebab itu, Maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah Memelihara mereka.” (Q.S An Nisa’:34)

Kedua, ia memiliki sifat sabar. Ia bersikap tabah dalam menghadapi berbagai persoalan. Bahkan ia pandai menghibur suaminya yang sedang di rundung masalah. Bukannya malah merunyamkan suasana.

Ketiga, senantiasa menjaga shalat 5 waktu. Sebagaimana  shalat 5 waktu adalah tiang agama. Muslimah yang menjaga shalatnya adalah sosok muslimah yang sendi-sendi keimanannya kokoh. Ia akan kuat menghadapi berbagai terpaan cobaan dan musibah. Muslimah seperti inilah yang bisa menjadi faktor kunci sukses suaminya.

Keempat, menjaga auratnya dengan baik. Ia tak mau keluar rumah kecuali seizin suaminya. Andaikata keluar, ia menutupi aurat yang menjadi kehormatannya serta suaminya. Allah SWT berfirman yang maksudnya, ” Hai nabi. Katakanlah kepada isteri-isteri mu, anak-anak perempuammu dan isteri-isteri orang beriman “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal. Karera mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al Ahzab, 59)

Kelima, taat kepada suaminya, menghormatinya, mencintainya, menyayanginya. Selalu menampakkan wajah yang menyenangkannya. Selalu memberikan dukungan kepada suami baik dalam urusan pekerjaan atau ibadah. Tidak menghardik atau mengeluarkan kata-kata kotor kepadanya. Tidak membicarakan aib-aibnya kepada wanita lain. Tak pernah ada niatan untuk menyakitinya. Ia senantiasa menlakukan perbuatan yang membuat ridha suaminya. Rasululloh  Shalallahu alihi wa'aliahi wasallam  bersabda, “Tatkala seorang muslimah melaksanakan shalat 5 waktu, menunaikan puasa wajib dan mematuhi suaminya, maka ia akan memasuki surga Tuhannya.”

Keenam, bisa mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebab mereka lebih dekat kepada anak-anak daripada suami yang lebih banyak keluar untuk bekerja. Seorang Muslimah Shalihah akan mengajarkan anak-anaknya membaca Al Qur’an, menanamkan rasa cinta kepada Nabi SAW beserta keluarganya. Mendampingi mereka melewati masa kanak-kanak dengan lembut dan penuh cinta, menjauhkan merekan dari akhlak tercela. Dan tak kalah pentingnya, mengajarkan mereka rasa hormat kepada ayahnya.

Ketujuh, mampu menasehati suami yang sedang lalai dari ibadah dengan cara yang santun dan bijak. Ia bisa mengambil hati suaminya sebelum mengingatkannya. Cara demikian lebih bisa di terima suami ketimbang cara-cara langsung yang akan memperburuk situasi.

Kedelapan, memiliki prinsip hidup yang kuat. Ia tak mudah terpengaruh gaya hidup non islami yang sekarang ini gencar di budayakan oleh media massa. Sebagai muslimah ia harus tetap berpegang teguh pada ajaran Islam baik dari segi berpakaian, berprilaku dan lainnya. Ia pantang meniru lifestyle wanita non muslim. Rasulullah
Shalallahu alihi wa'aliahi wasallam  bersabda, “Barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum, berarti ia termasuk golongan tersebut.”

Kesembilan, ia mampu menjaga penglihatannya dan kehormatannya. Ia tak mau memandang laki-laki selain suaminya. Kehormatannya di jaga mati-matian demi suaminya. Ia bersolek hanya untuk suaminya. Ini merupakan gambaran Bidadari Syurga. Allah Subhanallohu wata'allaa berfirman.. Yang artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An Nuur:31)

Kesepuluh, bersikap wara’. Ia tak mau mengkonsumsi makanan-makanan yang haram ataupun yang syubhat. Demikian pula ia menjaga suami dan anak-anaknya dari hal tersebut. Ia faham betul bahwa dari makanan yang baik dan halal akan lahir pula kepribadian-kepribadian yang baik. “Kuatnya agama adalah sikap wara’.” demikian sabda Nabi
Shalallahu alihi wa'aliahi wasallam 
 
Demikian sebagian karakteristik muslimah yang shalihah. Dengan karakteristik tersebut ia akan menampakkan kecantikan bathin yang akan abadi dan takkan lapuk oleh penuaan seperti halnya kecantikan jasmani.

Rasulullah
Shalallahu alihi wa'aliahi wasallam  dalam sabdanya, “Dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan perhiasan yang terindah adalah wanita yang shalihah.”

Wallahu A’laam..

*****Hak dan Kewajiban Seorang Isteri Solehah Terhadap Suami*****





Hak dan Kewajiban Seorang Isteri Solehah Terhadap Suami


Wahai para wanita yang sedang bertabarruj dengan mengunakan segala perhiasaan yang di milikinya di hadapan manusia bertakwalah kalian kepada Allah , takutlah wahai perempuan yang biasa keluar kepasar tanpa menutupi tubuhnya dengan sempurna, dan siapa saja yang ikut campur baur bersama laki-laki, sehingga mereka bisa bebas memandangimu demikian pula engkau bisa memandangi mereka, bertakwalah

wahai wanita kalau sekiranya engkau masih beriman kepada Allah dan beriman pada hari di mana engkau akan berdiri seorang diri di hadapanNya, ketahuilah bahwa semua perbuatanmu tersebut adalah di larang oleh agama. Duhai orang yang sedang naik mobil sendirian hanya berdua bersama sopirnya atau yang masuk ke ruang dokter tanpa di temani mahramnya takutlah engkau kepada Allah. Takutlah duhai wanita yang keluar rumah dengan bersolek tanpa memakai hijab, ketahuilah sesungguhnya bersolek tanpa hijab akan menumbuhkan berbagai macam fitnah, dan menyelisihi perintah Allah dan RasulNya.

Bertakwalah wahai wanita muslimah serta bertaubatlah kepada Allah apabila ada di antara kalian yang mengerjakan salah satu di antara kemungkaran di atas, demi Allah sungguh adzab Allah itu sangatlah pedih.
Wajib bagi tiap wanita muslimah yang masih beriman kepada Allah serta hari akhir untuk menjaga lidahnya, jangan sampai melembutkan suaranya tatkala berbicara bersama laki-laki yang bukan mahramnya, apalagi ngobrol bareng bersama mereka, karena suara perempuan termasuk aurat yang tidak boleh di perdengarkannya pada orang lain yang bukan mahramnya kecuali sebatas kebutuhan yang diperlukan tanpa merendahkan suaranya.

Dan wanita muslimah dilarang melihat lelaki yang bukan termasuk mahramnya kecuali mempunyai alasan yang di bolehkan demikian pula sebaliknya bagi laki-laki juga di larang untuk melihat pada perempuan yang bukan mahramnya tanpa ada udzur syar’i. Maka menjadi suatu kewajiban bagi tiap muslim untuk berhati-hati dalam masalah ini demikian pula wajib baginya untuk selalu mengawasi mahramnya supaya tidak terjatuh ke dalamnya, karena penglihatan merupakan salah satu panah beracun dari panah-panah yang di luncurkan oleh setan. Hak dan kewajiban seorang istri adalah suatu kewajiban bagi seorang istri terhadap suaminya adalah menunaikan hak dan kewajibannya serta menyematkan pada dirinya adab-adab Islam, sebagaimana pembahasan berikut ini.

Hendaknya bagi perempuan yang merasa takut kepada Allah Ta’ala bersungguh-sungguh di dalam mentaati Rasulallah Shalallahu ‘alaih wa sallam, taat kepada suaminya, serta mencari keridhoanya, karena suami adalah surga maupun neraka bagi istrinya, seperti yang pernah di sabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة » (رواه إبن ماجه والترمذي)
Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan masuk surga“. HR Ibnu Majah, dan di hasankan oleh Imam Tirmidzi. Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وأطاعت بعلها زوجها فلتدخل من أي أبواب الجنة شاءت » (رواه أحمد والطبراني)
Apabila seorang wanita mengerjakan sholat lima waktu, dan berpuasa ramadhan, mentaati suaminya, maka ia akan masuk ke dalam surga melalui pintu mana saja yang ia kehendaki“. HR Ahmad dan Thabrani.

Ta’at kepada suaminya selagi dia tidak menyuruh untuk berbuat maksiat kepada Allah Azza wa jalla, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قال الله تعالى : ﴿ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ ﴾ ( سورة النساء: 34)
“Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”. (QS an-Nisaa’: 34).
Demikian juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح » ( رواه البخاري ومسلم)
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya (ungkapan untuk berjima’.pent) kemudian istrinya enggan sehingga suaminya marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya sampai keesokan harinya”. HR Bukhari dan Muslim.
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «لو كنت آمرا أحد أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها» (رواه أبو داود والحاكم وصححه الترمذي)
“Kalau seandainya saya boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain tentu akan saya perintahkan perempuan sujud kepada suaminya”. HR Abu Dawud, Hakim dan di shahihkan oleh Imam Tirmidzi.

Menetap di rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah melainkan setelah mendapat izin dan di ridhoi olehnya.

Wajib bagi seorang istri selalu berusaha untuk mencari ridho suaminya serta menjauhi segala perkara yang bisa menimbulkan kemarahannya, jangan mencoba menolak manakala diajak untuk berhubungan kecuali kalau memang ia memiliki udzur syar’i, seperti ketika sedang haid maupun nifas, maka kalau keadaanya seperti itu, ia tidak boleh memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan, demikian pula tidak boleh bagi seorang suami untuk menuntut istrinya mau di ajak berhubungan ketika sedang haid dan nifas, dan jangan menjimakinya sampai sekiranya ia telah suci dari haid maupun nifasnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قال الله تعالى : ﴿ فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ﴾ ( سورة البقرة 222)

“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi istrimu di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sampai kiranya mereka suci”. (QS al-Baqarah: 222).

Maknanya jangan dekati mereka untuk berjima’ sampai terputus darah haid atau nifasnya dan mereka telah mandi suci.

Hendaknya bagi perempuan merasa berada di bawah naungan suaminya, yang tidak bisa seenaknya berbuat, dari segi harta, ia tidak bisa bergerak melainkan setelah mendapat izinnya. Dan agar ia memahami bahwa hak suami lebih dahulukan dari pada haknya dan hak saudara suami lebih dahulukan dari pada hak saudaranya, demikian juga hendaknya ia selalu siap untuk di ajak berhubungan oleh suaminya dengan menggunakan berbagai macam sarana yang bisa menjadikan dirinya bersih, serta menarik, dan jangan merasa lebih cantik sambil menghina kejelekannya, serta jangan sesekali mencelanya di belakang apalagi di hadapannya.

Memelihara serta menjaga kehormatan suaminya dan martabatnya, serta mengatur harta, anak-anak dan seluruh urusan rumah tangga, hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala:
قال الله تعالى : ﴿ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ ﴾

( سورة النساء 34)
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS an-Nisaa’: 34).
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « والمرأة راعية على بيت زوجها وولده ومسئولة عن رعيتها » (رواه البخاري ومسلم)

“Dan perempuan bertanggung jawab atas rumah suami dan anak-anaknya, serta akan di tanya tentang tanggung jawabnya tersebut” HR Bukhari dan Muslim.
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «فحقكم عليهم أن لا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن في بيوتكم لمن تكرهون» (رواه الترمذي)

“Dan hak suami atas kalian (para wanita) adalah tidak berzina serta tidak memasukan orang lain yang ia benci”. HR Tirmidzi beliau berkata hadits hasan shahih.

Wajib bagi wanita, untuk selalu merasa malu terhadap suaminya, menghormati, ta’at pada perintahnya, diam ketika suami sedang berbicara, menjauhi segala perkara yang bisa membuatnya marah, tidak berkhianat kepadanya, baik ketika di tinggal pergi, atau dalam ranjangnya, harta serta rumahnya, dan selalu berbusana yang menarik dan menjaga badan selalu wangi.

Sumber Hak dan Kewajiban Seorang Isteri Solehah Terhadap Suami islamhouse.com. Diambil dari kitab: “Masuliyatul Marah al Muslimah”, Nasehat Bagi Wanita Muslimah. Oleh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah.Terjemah: Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu.

Jumat, 20 Desember 2013

Hukum Riya Menurut Islam

Hukum Riya Menurut Islam

Riya’ merupakan mashdar dari raa-a yuraa-i yang maknanya adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji. Termasuk ke dalam riya’ juga yaitu sum’ah, yakni agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan lalu kitapun dipuji dan tenar.

Riya’ dan semua derivatnya itu merupakan akhlaq yang tercela dan merupakan sifat orang-orang munafiq. Allah berfirman:

“Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisaa’: 142)

Riya’ ini termasuk syirik ashgar namun terkadang bisa juga sampai pada derajat syirik akbar. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata ketika memberikan perumpamaan untuk syirik ashgar: “Syirik ashgar itu seumpama riya’ yang ringan.”

Perkataan beliau ini mengindikasikan bahwa ada riya’ yang berat yang bisa sampai pada derajat syirik akbar, wallahu a’lam.

Suatu ibadah yang tercampuri oleh riya’, maka tidak lepas dari tiga (3) keadaan:

1. Yang menjadi motivator dilakukannya ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya’ seperti misalnya seorang yang melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.

2. Riya tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersit lah riya’. Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:

a. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya seperti yang disampaikan yaitu seseorang bershadaqah dengan ikhlash sebesar 100 ribu, kemudian dia melihat di dompet masih ada sisa, lalu dia tambah shodaqahnya 100 ribu kedua namun dicampuri riya. Nah dalam kondisi ini, 100 ribu pertama sah dan berpahala sedangkan 100 ribu yang kedua gugur.

b. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya maka hal ini juga terbagi dalam dua keadaan:

- Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh untuk tetap ikhlash sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi:

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Contohnya adalah seseorang yang sholat dua rakaat dan sejak awal ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersitlah riya di hatinya lataran dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlash karena Allah semata. Nah yang demikian ini maka shalatnya tidak rusak insya Allah dan dia tetap akan mendapatkan pahala sholatnya.

- Pelakunya tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di dalamnya. Yang demikian ini maka rusak dan gugur pahala ibadahnya. Contohnya adalah seperti yang disebutkan yaitu seseorang shalat maghrib ikhlash karena Allah semata. Di rakaat kedua muncul lah riya’ di hatinya. Nah kalau dia ini hanyut dalam riya’nya dan tidak berusaha melawan maka gugurlah sholatnya.

3. Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.

Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah sesuatu yang mengandung benih permusuhan seperti misalnya al-mannu wal adzaa dalam bershadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya. Allah berfirman:

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)

Bukan termasuk riya’ seseorang yang merasa senang apabila ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai ditunaikan. Dan bukan termasuk ke dalam riya juga apabila seseorang merasa senang dan bangga dalam menunaikan suatu keta’atan, bahkan yang demikian ini termasuk bukti keimanannya. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mu’min (sejati).” (HR. At-Tirmidzi dari Umar bin Khaththab)

Dan Nabi pernah ditanya yang semisal ini kemudin bersabda: “Yang demikian itu merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mu’min.” (HR. Muslim dari Abu Dzar)

Bahaya Riya'

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ''Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, 'Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?' Allah menjawab, 'Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu'.'' Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan. Allah SWT berfirman, ''Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.'' (Al-Furqan: 23).

Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda, ''Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.'' Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ''Apakah keselamatan itu?'' Jawab Rasulullah, ''Apabila kamu tidak menipu Allah.'' Orang tersebut bertanya lagi, ''Bagaimana menipu Allah itu?'' Rasulullah menjawab, ''Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.'' Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.

Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ''Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.'' Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ''Takutlah kamu kepada syirik kecil.'' Para shahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?'' Rasulullah berkata, ''Yaitu sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya, 'pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka'?''

Pustaka

Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitab At-Tauhid nya Al-Imam Ibnu Utsaimin, Bab Maa Jaa-a fir Riyaa’.

Buah Kedermawanan

(BAGUS) KISAH “KEUTAMAAN BERSEDEKAH” : Kisah keajaiban sedekah, Hikmah dan Balasan bagi para dermawan/berinfaq dengan hartanya, Kisah nyata sedekah membawa berkah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
 

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ اْلأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ. فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ -لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ-. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ لِاسْمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا 
وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ
Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Berilah air pada kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.
Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”

Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa.

Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”
Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”

Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam)….”

Dengan sanad hadits ini juga, dari Wahb bin Kaisan sampai kepada Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, tetapi (dalam riwayat ini) petani itu berkata, “Saya mengalokasikan sepertiganya untuk orang miskin, peminta-minta, dan para perantau (ibnu sabil).”1

Perhatikanlah bagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menggiring rezeki untuk manusia, binatang ternak, burung-burung, tanah, dan gunung-gunung, kemudian rezeki itu sampai kepadanya karena besarnya kebutuhan mereka, pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Perhatikanlah bagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menundukkan angin agar menggiring awan sampai turun hujan.
Di dalam hadits ini dijelaskan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnu sabil. Dijelaskan pula keutamaan seseorang makan dan memberi nafkah kepada keluarga dari hasil usahanya sendiri. Di sini, petani itu memisahkan sepertiga hartanya untuk keluarga, sepertiga yang kedua untuk sedekah, dan sepertiga berikutnya untuk modal menanam lagi.
Hakikat Dunia
Pembaca, beriman bahwa dunia ini begitu rendahnya, bahkan terkutuk, bukan berarti tidak boleh berusaha (mencari ma’isyah/penghidupan). Demikian pula perintah zuhud terhadap dunia, bukan artinya tidak perlu bekerja dan berusaha. Akan tetapi, maksudnya ialah tidak bergantung pada dunia. Dengan kata lain, hati kita jangan berambisi dan sepenuhnya mengejar dunia, meninggalkan urusan akhirat, gelisah jika hartanya berkurang, gembira bila hartanya bertambah, lalu melampaui batas ketika melihat dirinya telah merasa kaya.

Mungkin akan muncul pertanyaan, kapan seseorang dikatakan zuhud, padahal dia mempunyai uang seratus juta rupiah?

Al-Imam Ahmad pernah ditanya tentang hal yang semacam ini. Beliau menjawab, “Ya. Dia dikatakan zuhud, walaupun mempunyai uang seratus ribu (dinar), dengan syarat, dia tidak merasa gembira ketika uang itu bertambah, dan tidak bersedih hati ketika uang itu berkurang.”

Akan tetapi, siapakah yang mampu bersikap demikian?
Kita semua mampu melakukannya, insya Allah, apabila harta itu kita jadikan laksana toilet dalam pandangan kita, yang tentu saja hanya didatangi ketika kita ingin buang hajat, dalam keadaan di hati kita tidak mungkin ada cinta dan terpaut kepada tempat najis tersebut.
Karena itu, ketika hati merdeka untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, bukan berstatus sebagai budak dinar dan dirham, serta harta dunia lainnya, saat itulah usaha menambah harta tidak akan memudaratkannya. AllahSubhaanahu Wa Ta’alaberfirman:

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat.” (an-Nur: 37)

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu, dia melihat sebagian pedagang di pasar, ketika dipanggil untuk shalat wajib, segera meninggalkan dagangan mereka dan bangkit. Melihat hal itu, berkatalah Abdullah, “Mereka inilah orang-orang yang sebutkan dalam Kitab-Nya:

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingati Allah l.” Seperti itu pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar ketika berada di pasar, kemudian diserukan iqamah, mereka menutup kedai-kedai mereka lalu memasuki masjid. Kata beliau, “Tentang merekalah ayat ini turun.”

Penjelasan Hadits
Sesungguhnya wali-wali Allah k mengenal hak Allah k yang wajib atas mereka, lalu menunaikannya lebih dari apa yang Allah l tuntut dari mereka. Mereka akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah k. Sebab itulah, mereka berhak menjadi wali-wali Allah l dan meraih karamah ilahiyah, sebagai balasan atas amalan mereka yang baik.

Di dalam hadits ini diceritakan, ketika seseorang sedang berjalan di sebuah tempat sepi, dia mendengar suara di awan, mungkin suara malaikat Allah k, “Berilah air pada kebun si Fulan!” yang memerintahkan awan untuk bergerak. Kemudian, awan tersebut bergeser ke sebidang tanah berbatu hitam. Setelah berada di atasnya, awan itu mencurahkan airnya, hingga semua saluran dan parit-paritnya penuh air. Dalam keadaan takjub, lelaki itu mencoba menelusuri ke arah mana air itu mengalir.

Ternyata, air itu mengalir ke sebuah kebun. Di kebun itu sudah ada seorang petani sedang mengayunkan cangkulnya mengatur jalan air tersebut. Akhirnya, lelaki yang mendengar suara dari langit itu mendekati si petani dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah.” Ini adalah sebuah panggilan umum, biasanya ditujukan kepada orang yang belum dikenal namanya. Jadi, dia tidak langsung menyebut nama si petani untuk memastikan.

“Siapa nama Anda?” tanya lelaki itu. Petani itu menoleh dan menjawab, “Fulan,” dan nama itulah yang didengar laki-laki itu dari suara yang muncul di awan, “Berilah air pada kebun si Fulan!”
Pemilik kebun itu merasa heran ada orang yang baru datang menanyakan namanya. Akhirnya, dia pun bertanya kepada lelaki tersebut, “Mengapa Anda menanyakan nama saya?”

Lelaki itu pun menceritakan, “Saya mendengar sebuah suara dari awan yang airnya turun di kebun Anda, mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ dia menyebut nama Anda, apakah yang Anda perbuat terhadap kebun ini?”

Artinya, lelaki itu menanyakan mengapa air hujan dari awan yang ada di atas tanah berbatu hitam itu semuanya tumpah ke salah satu saluran air yang mengalir ke kebun petani itu saja. Apakah sebetulnya yang diperbuat oleh petani itu terhadap kebunnya?

Petani itu pun menerangkan, “Kalau itu yang Anda katakan, sebetulnya saya selalu memerhatikan apa saja hasil panen yang keluar dari kebun ini. Kemudian, saya menyedekahkan sepertiganya, memakan sepertiganya bersama keluarga, sedangkan sepertiga lagi saya kembalikan sebagai modal untuk menanam.”
Dalam versi lain, disebutkan bahwa lelaki itu menemui si petani dan langsung memanggilnya dengan menyebut nama petani itu. Si petani menoleh kepada orang yang memanggilnya. Dia terkejut dan heran.
Petani itu pun bertanya, “Siapakah Anda, dan dari mana Anda mengetahui nama saya?”

“Sebelum saya jawab, terangkan dahulu apakah yang sudah Anda lakukan dengan kebun ini?” balas orang tersebut.

Petani itu kembali bertanya, “Untuk apakah Anda menanyakannya?”
“Saya mendengar suara dari awan menyebut nama Anda,” kata lelaki itu, dan dia pun menceritakan apa yang terjadi. “Akhirnya, saya pun mengejar awan itu hingga sampai ke tempat Anda.”
“Baiklah, kalau itu yang Anda katakan. Sebenarnya saya membagi hasil panen ini menjadi tiga, sepertiga untuk modal menanam kembali, sepertiga lagi untuk saya dan keluarga, serta sepertiga berikutnya untuk sedekah,” kata si Petani.

Orang itu mengatakan, “Jadi, itulah sebabnya tanaman Anda diberi air dari awan tersebut.”

Beberapa Hikmah
1. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala  menundukkan malaikat dan hujan untuk orang-orang yang bersedekah dan menunaikan hak fakir miskin dari harta mereka.
2. Bersedekah kepada fakir miskin menyebabkan rezeki bertambah. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
ﭰ ﭱ ﭲﭳ

“Bila kalian bersyukur tentu akan Aku tambah untuk kalian.” (Ibrahim: 7)
Rasulullah n bersabda:

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تِجَاهَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Jagalah Allah, tentu Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, tentu akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika dalam keadaan lapang, tentu Dia akan mengenalimu ketika engkau dalam keadaan sulit.”

3. Seorang mukmin yang memiliki akidah tentu akan menjaga hak fakir miskin, keluarga, dan hartanya.

4. Adanya karamah para wali Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, karena Allah Subhaanahu Wa
Ta’ala mengirimkan awan untuk memberi minum kebunnya. Hal itu karena kebaikan pemilik kebun dan nafkah yang dikeluarkannya di jalan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

5. Allah l mengganti nafkah yang dikeluarkan di jalan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala serta tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik di dunia dan di akhirat. Sebab itulah, AllahSubhaanahu Wa Ta’ala memberi minum kebun petani itu tanpa dia harus bersusah-payah menggali sumur untuk mendapatkan air. Semua itu karena AllahSubhaanahu Wa Ta’ala hendak memuliakan hamba-Nya tersebut.

6. Menurut syariat, mungkin saja seseorang dapat mendengar suara malaikat seperti dalam kisah ini dan kisah seseorang yang hendak mengunjungi saudaranya di daerah lain, karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Juga seperti ‘Imran bin Hushain z yang mendengar salam malaikat kepadanya.

7. Pentingnya pengelolaan harta benda secara cermat. Petani ini membagi hartanya (hasil panen) menjadi tiga bagian, sepertiga untuk infak di jalan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, sepertiga untuk dia dan keluarganya, serta sepertiga untuk modal menanam. Inilah di antara hikmah larangan AllahSubhaanahu Wa Ta’ala:
ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu.” (An-Nisa’: 5)

Orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha’) tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Sebab itu pula, harta mereka diserahkan pengelolaannya kepada wali mereka menurut ketetapan syariat.
8. Hendaknya seseorang menyembunyikan amalan salehnya dan jangan menjadikannya sebagai sasaran riya’ dan sum’ah.

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 HR. Ahmad (2/296 no. 7928) dan Muslim (8/222, 223)

 

Jabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram


oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
 bismillahir-rohmanir-rohim
gambar hukum menyentuh perempuanBerjabat tangan dengan wanita memiliki beberapa hukum. Pertama, jika hal itu dilakukan antara wanita dengan wanita lainnya, maka ini boleh, bahkan mungkin sunnah. Jika jabat tangan terjadi antara pria dan wanita asing yang baligh, namun ia bukan mahramnya, maka hukumnya adalah haram dan terlarang dalam Islam!!
Sejumlah dalil telah datang menerangkan hukum perkara berjabatan tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya. Disini kami akan nukilkan kepada anda agar anda di atas keterangan dan hujjah dalam perkara ini. Sebab, di zaman ini, banyak diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan seorang pria dengan wanita lain adalah perkara yang boleh dan tak terlarang. Tentunya ini merupakan sangkaan batil yang menyelisihi beberapa hadits yang kami akan bawakan, insya Allah -Ta’ala-.
Para pembaca yang budiman, sekawanan wanita mukminah pernah datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk membai’at Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Di tengah bai’at, mereka mengulurkan tangan mereka ke arah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di balik hijab untuk memulai bai’at. Mereka ingin berjabat tangan dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-[1]. Namun ternyata beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- menolak dan tak mau berjabat tangan dengan para wanita itu.
Kisahnya mari kita dengarkan dari seorang pelakunya yang ikut berbai’at dengan para wanita itu. Salah seorang diantara mereka, ada seorang sahabat wanita yang bernama Umaimah bin Ruqoiqoh -radhiyallahu anhu-. Ia berkata,
أُمَيْمَةَ بِنْتَ رُقَيْقَةَ ، تَقُولُ : بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ ، فَلَقَّنَنَا : فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ . قُلْتُ : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَرْحَمُ بِنَا مِنْ أَنْفُسِنَا . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، بَايِعْنَا . قَالَ : إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ ، إِنَّمَا قَوْلِي لاِمْرَأَةٍ ، قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ
“Aku pernah membai’at Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersama beberapa orang wanita. Kemudian beliau pun menuntun kami, “Menurut kemampuan dan kuasa kalian”. Aku katakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami dibandingkan diri kami sendiri”. Aku katakan, “Wahai Rasulullah, bai’atlah kami”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tak menjabati wanita. Hanyalah ucapanku kepada seorang wanita (dalam bai’at) adalah (sama dengan) ucapanku kepada 100 orang wanita”. [HR. An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (no. 4181), At-Tirmidziy (no. 1597), Ibnu Majah (2874) dan Ahmad dalam Al-Musnad (6/357). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 529) dan Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (27006)]
Hadits ini amat gamblang dalam melarang jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram pria. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menghindar darinya di dalam momen yang paling penting. Andaikan bukan karena haramnya jabatan tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya, maka pasti beliau tak melarang dan menghindarinya.
Abul Walid Al-Bajiy -rahimahullah- berkata,
يُرِيدُ لَا أُبَاشِرُ أَيْدِيَهُنَّ بِيَدِي يُرِيدُ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – الِاجْتِنَابَ وَذَلِكَ أَنَّ مِنْ حُكْمِ مُبَايَعَةِ الرِّجَالِ الْمُصَافَحَةَ فَمَنَعَ مِنْ ذَلِكَ فِي مُبَايَعَةِ النِّسَاءِ لِمَا فِيهِ مِنْ مُبَاشَرَتِهِن
“Beliau memaksudkan, “Aku tak akan menyentuh tangan mereka dengan tanganku. Beliau memaksudkan -wallahu A’lam- untuk menghindar. Demikian itu karena diantara hukum membai’at kaum pria, berjabat tangan (dengan mereka). Nah, beliau melarang hal itu dalam membai’at kaum wanita, karena di dalamnya terdapat penyentuhan para wanita”. [Lihat Al-Muntaqo (4/442)]

Menyentuh wanita yang bukan mahrom, haram bagi kaum pria. Semua itu merupakan usaha dalam menutup pintu fitnah (godaan) dan kerusakan yang akan timbul dari hal tersebut.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah- berkata,
فالمرأة لا تصافح الرجل وهو غير محرم لها ، فلا تصافح الطبيب ولا المدير ولا المريض ولا غيرهم ممن ليس محرماً لها ؛ بل تكلمه بالكلام الطيب ، وتسلم عليه لكن بدون مصافحة ، وبدون تكشف ، فتستر رأسها وبدنها ووجهها ولو بالنقاب لأن المرأة عورة وفتنة
“Seorang wanita tak boleh menjabati pria, sedang ia bukan mahramnya. Jadi, wanita tidaklah menjabati dokter pria, kepala sekolah, orang sakit dan lainnya dari kalangan orang yang bukan mahramnya. Bahkan ia hanya berbicara dengan dokter dengan ucapan yang baik, memberi salam kepadanya, tapi tanpa jabat tangan dan menampakkan aurat. Si wanita menutup kepala, wajah dan badannya, walau dengan cadar, karena wanita itu adalah aurat dan fitnah (godaan)”. [Lihat Ahkam Sholah Al-Maridh (hal. 23)]

Lantas kenapa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- amat teguh dalam menghindar dari bersentuhan dengan wanita? Jelas dan pasti disana ada hikmah yang mendalam dalam setiap langkah dan perbuatan beliau. Sebab, sudah kita ketahui bahwa segala yang ditinggalkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berupa perkara yang haram, maka pasti di dalamnya ada kerusakan dan bahaya!!
Dari Ma’qil bin Yasar -radhiyallahu anhu- ia berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Sungguh ditusuknya kepala seorang diantara kalian dengan jarum besi, lebih baik baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tak halal baginya”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu'jam Al-Kabir (no. 487) dan Ar-Ruyaniy dalam Al-Musnad (no. 1283)]
Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menguatkan sanad hadits diatas dalam Ash-Shohihah (1/1/448), “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tak halal baginya. Jadi, di dalamnya juga ada dalil yang menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan para wanita (yang bukan mahram), karena berjabat tangan dicakup oleh kata “menyentuh”, tanpa syak. Perkara seperti ini telah menimpa kebanyakan kaum muslimin di zaman ini. (Namun sayang), diantara mereka ada yang berilmu andaikan ia ingkari dalam hatinya, maka masalahnya sedikit agak ringan. Cuman mereka ini berusaha meghalalkannya dengan berbagai jalan, dan takwil. Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ada seorang tokoh besar di Al-Azhar telah disaksikan oleh sebagian orang sedang berjabat tangan dengan para wanita !! Hanya kepada Allah tempat kita mengadu dari keterasingan Islam”.

Saking asingnya, orang berilmu saja tak tahu atau pura-pura tak tahu tentang haramnya jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Terakhir, penting kami ingatkan bahwa haramnya jabat tangan antara pria dengan wanita lain yang bukan mahramnya, perkara yang harus dipahami dengan baik bahwa pelarangan itu bukan karena wanita itu najis. Tidak, sama sekali tidak demikian!! Bahkan kita jauhi karena memang dilarang oleh agama!!!

Catatan: Wanita mahram adalah setiap wanita yang haram dinikahi, seperti adik, kakak, nenek, ibu, bibi dan lainnya, sebagaimana yang anda dapat lihat jumlahnya dalam Surah An-Nisa’ : 23-24,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24) [النساء : 23-24]

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisaa’ : 23-24)

Adapun wanita-wanita yang tak disebutkan dalam ayat ini, maka mereka itu bukanlah mahram kita. Wanita yang bukan mahram kita tak boleh disentuh, berduaan dengannya, menjalin hubungan asmara dengannya, tanpa melalui hubungan nikah. Mereka ini boleh kita nikahi. Nah, setelah nikah, barulah boleh kita sentuh.





[1] Karena, memang sudah lumrah di kalangan kaum pria bahwa bai’at diiringi dengan jabat tangan. Nah, ternyata disini Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menghindari jabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/183)]

KAPAN WAKTU YANG BENAR UNTUK MELAKUKAN SHOLAT DHUHA (SHOLAT AWWABIN) ?

KAPAN WAKTU YANG BENAR UNTUK MELAKUKAN SHOLAT DHUHA (SHOLAT AWWABIN) ? 

(BAGUS) KEUTAMAAN, FAIDAH/MANFAAT,RAHASIA SERTA PAHALA “SHOLAT DHUHA” : “Bagi setiap persendian dari seorang diantara kalian terdapat sedekah. Jadi, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan Laa ilaaha illah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Mencukupi hal itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”

SHALAT DHUHA

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah- [Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Sebuah sunnah yang banyak ditinggalkan oleh kebanyakan orang di zaman ini. Itulah Sholat Dhuha, sholat yang dikerjakan di awal siang, di saat matahari sudah terbit seukuran satu tombak. Anak onta kala itu mulai kepanasan oleh teriknya matahari.
Sholat Dhuha memang tidak semasyhur dengan sholat-sholat sunnah lainnya, karena banyak orang yang jarang mendengarkan penjelasan tentang kedudukan, hukum, dan dalil seputar Sholat Sunnah Dhuha.
Saking kurangnya penjelasan tentang sholat yang satu ini, sampai sebagian kaum muslimin ragu mengerjakannya, bahkan ia meninggalkannya selama hayat masih dikandung badan. Jadi, selama hidupnya, ia tak mengenal yang disebut dengan “Sholat Dhuha”. Yang ia kenal hanya “Sholat Lail” yang lebih dikenal dengan “Sholat Tahajjud”.
Pasalnya kenapa? Akibat kurangnya pengajaran dan keterangan dari para dai dan muballigh tentang hukum dan dalil yang mendasari Sholat Dhuha. Nah, sebagai sumbangsih dalam melestarikan Sholat Dhuha, maka kami menurunkan tulisan ini, setelah memohon kepada pertolongan dan taufiq-Nya.
Para pembaca yang budiman, Sholat Dhuha merupakan sholat yang amat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak heran bila beliau di suatu hari mengajari dan mewasiatkan sebagian sahabatnya agar memperhatikan sholat ini dalam kehidupan mereka.
Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah mewasiatiku tentang tiga perkara yang tak kutinggalkan sampai aku mati: Puasa tiga hari dalam setiap bulannya, Sholat Dhuha,dan tidur dalam keadaan (usai) berwitir”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1178) dan Muslim dalam Shohih-nya (721)]
Wasiat dalam tiga perkara ini, bukan hanya didapatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan disana ada sahabat lain yang juga menerima wasiat mulia ini dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Dari Abu Ad-Darda’ -radhiyallahu anhu-
أَوْصَانِى حَبِيبِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
“Kekasihku -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mewasiatiku dengan tiga perkara yang tak akan kutinggalkan selama aku masih hidup : Puas tiga hari dalam setiap bulan, Sholat Dhuha dan agar aku tak tidur sampai aku berwitir”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 722), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1433)]
Sholat Dhuha merupakan ibadah yang sudah masyhur di zaman kenabian. Para sahabat telah banyak mendengarkan perihal Sholat Dhuha dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Hal ini tergambar dari peristiwa yang dikisahkan oleh sebagian sahabat.
Dari Al-Qosim Asy-Syaibaniy, ia berkata
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
“Zaid bin Arqom pernah melihat suatu kaum sedang melaksanakan sholat di waktu Dhuha seraya beliau berkata, “Tidakkah mereka telah mengetahui bahwa sholat (yakni, Sholat Dhuha) pada selain waktu ini adalah lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda, “Sholatnya orang-orang awwabin (orang yang kembali kepada Allah) ketika memanasnya anak unta”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 748)]
Dinamai dengan “Sholat Awwabin”, karena tak ada yang mampu menjaga dan melaziminya, kecuali orang-orang awwabin.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ : وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ
“Tak ada yang menjaga Sholat Dhuha, kecuali seorang awwabin, dan ia (Sholat Dhuha) adalahSholat Awwabin“. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (1224) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 1182). dan Ath-Thobroniy dalam Al-Awsath (no. 3865)]
Al-Imam Al-Munawiy -rahimahullah- berkata,
فيه رد على من كرهها وقال ان ادامتها تورث العمى
“Di dalamnya terdapat sanggahan atas orang yang membenci Sholat Dhuha seraya berkata, “Sesungguhnya melazimi Sholat Dhuha akan mewariskan kebutaan”. [Lihat At-Taisir (2/973)]
Kata “awwabin”, maksudnya orang-orang yang kembali kepada Allah dari dosa-dosanya. Seorang hamba yang berbuat dosa akan jauh dari Allah sesuai dengan tingkat dosa yang ia kerjakan. Jika ia sadar dan meninggalkan maksiat dan dosa-dosanya, lalu menggantinya amal-amal sholih, maka ia dianggap telah kembali kepada Allah dan mendekat kepada-Nya dengan amal ketaatan yang ia kerjakan. Nah, di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa yang menjaga sholat ini adalah orang-orang yang taat dan selalu dekat dengan Allah -Azza wa Jalla-. Wallahu A’lam bish showab. [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Al-Musnad]
Diantara orang-orang awwabin adalah Nabiyyullah Dawud –alahis salam-. Sholat inilah yang dahulu dilazimi oleh beliau. Ketika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- datang kepada para sahabat, maka beliau tetap melestarikan Sholat Dhuha ini, karena mencontoh Dawud –alaihis salam-.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam menghibur Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-,
اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ (17) إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ (18) وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً كُلٌّ لَهُ أَوَّابٌ (19) [ص : 17 - 19]
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia amat suka kembali (kepada Tuhan). Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi.  Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. masing-masingnya amat kembali kepada Allah”. (QS. Shood : 17-19)
Al-Imam Ibnul Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ الْإِشَارَةُ إلَى الِاقْتِدَاءِ بِدَاوُد فِي قَوْلِهِ { إنَّهُ أَوَّابٌ إنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ } فَنَبَّهَ عَلَى أَنَّ صَلَاتَهُ كَانَتْ إذَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ فَأَثَّرَ حَرُّهَا فِي الْأَرْضِ حَتَّى تَجِدَهَا الْفِصَالُ حَارَّةً لَا تَبْرُكُ عَلَيْهَا بِخِلَافِ مَا تَصْنَعُ الْغَفْلَةُ الْيَوْمَ فَإِنَّهُمْ يُصَلُّونَهَا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بَلْ يَزِيدُ الْجَاهِلُونَ فَيُصَلُّونَهَا وَهِيَ لَمْ تَطْلُعْ قَيْدَ رُمْحٍ وَلَا رُمْحَيْنِ يَعْتَمِدُونَ بِجَهْلِهِمْ وَقْتَ النَّهْيِ بِالْإِجْمَاعِ
“Di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang keteladan kepada Dawud dalam Firman Allah, “… Sesungguhnya dia amat suka kembali (kepada Tuhan). Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi…”. Jadi, Allah mengingatkan bahwa sholatnya Dawud ketika matahari bersinar. Panas matahari telah memberikan pengaruh pada tanah, sehingga anak unta merasakan panasnya tanah. Anak unta tak akan menderum padanya. Hal ini berbeda dengan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang lalai pada hari ini. Sesungguhnya mereka melaksanakan Sholat Dhuha saat terbitnya matahari. Bahkan orang-orang jahil lebih parah lagi. Mereka melakukan Sholat Dhuha, sementara matahari belum terbit seukuran satu-dua tombak. Mereka menyengaja (memilih) waktu terlarang menurut ijma’, karena kejahilan mereka”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/352)]
Sholat Dhuha ini amat dianjurkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebab ternyata nikmat jasad yang berikan kepada kita diberi beban untuk bersedekah pada setiap harinya untuk setiap persendian dan tulang-belulang yang menopang jasad kita.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Bagi setiap persendian dari seorang diantara kalian terdapat sedekah. Jadi, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan Laa ilaaha illah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Mencukupi hal itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (720) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1285, 1286 dan 5243)]
Al-Allamah Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata,
وفيه دليل على عظم فضل الضحى وكبير موقعها وأنها تصح ركعتين والحث على المحافظة عليها
“Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang agungnya keutamaan Sholat Dhuha dan besarnya kedudukan sholat ini serta sahnya Sholat Dhuha sebanyak dua rakaat dan terdapat anjuran untuk menjaga Sholat Dhuha”. [Lihat Aunul Ma'bud (4/116) oleh Al-Azhim Abadiy, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H]
Persendian yang dimiliki oleh seorang manusia berjumlah 360. Setiap persendian itu membutuhkan sedekah berupa amal-amal sholih. Namun siapakah yang mampu mengumpulkan sejumlah amal sholih dalam setiap hari dengan jumlah tersebut. Disinilah akan tampak bagi anda fadhilah besar bagi Sholat Dhuha. Ternyata ia mampu mencukupi dan menutupi sedekah bagi 360 persendian manusia.
Dari Buraidah -radhiyallahu anhu-, ia berkata, “Aku pernah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
فِي الإِِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُ مِئَةِ مَفْصِلٍ ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً . قَالُوا : فَمَنِ الَّذِي يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا ، أَوِ الشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ ، فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ
“Pada diri manusia terdapat 360 persendian. Harus baginya bersedekah untuk setiap dari persendian itu”
Mereka berkata, “Siapakah yang mampu melakukan hal itu wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Dahak yang ada di masjid kau tanam, atau sesuatu (berupa gangguan) di jalan engkau singkirkan. Jika kau tak mampu juga, maka dua rakaat Sholat Dhuha telah mencukupi bagimu”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/356), Abu Dawud dalam Sunan-nya (5242), Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (1226), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (1642), dan Ath-Thohawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar (no. 99)]
Al-Imam Al-Iroqiy -rahimahullah- berkata,
فِيهِ فَضْلٌ عَظِيمٌ لِصَلَاةِ الضُّحَى لِمَا دَلَّ عَلَيْهِ مِنْ أَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ ثَلَاثِمِائَةٍ وَسِتِّينَ حَسَنَةً
“Di dalamnya terdapat keutamaan besar bagi Sholat Dhuha, karena hadits ini menunjukkan bahwa Sholat Dhuha berkedudukan sama dengan 360 kebaikan”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/349)]
Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini merupakan sesuatu yang paling dalam (kuat) tentang keutamaan Sholat Dhuha”.[Lihat Al-Istidzkar (2/266) oleh Ibnu Abdil Barr, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1421 H]
Kebaikan yang ada pada Sholat Dhuha menyamai pahala umroh. Sebuah keutamaan yang amat besar dan berharga. Adakah diantara kita yang mampu melakukan umroh dalam setiap harinya?! Jelas tak ada!! Namun keutamaan itu ternyata dapat dikejar dengan melazimi Sholat Dhuha.
وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ
“Barangsiapa yang keluar menuju Sholat Dhuha, sedang tak ada yang membuatnya capek kecuali sholat itu, maka pahalanya laksana pahala orang yang ber-umroh”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 558). Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (no. 6228)]
Keutamaannya bukan cuma sampai disini, bahkan Allah memberikan penjagaan dan pemeliharaan dari segala keburukan dengan sebab Sholat Dhuha sebanyak empat rakaat.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” ابْنَ آدَمَ صَلِّ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Wahai anak cucu Adam, sholatlah kepadaku empat rakaat pada awal siang, niscaya aku akan menjagamu pada akhir siang”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/287), Ibnu Hibban dalamShohih-nya (no. 2533-2534), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (1442), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (3/47). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 674)]
Para pembaca yang budiman, dengan segudang pahala di dalamnya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkannya, mengajarkannya dan menjelaskan keutamaannya. Semua ini menunjukkan adanya  dan pentingnya Sholat Dhuha.
Diantara perkara yang menunjukkan adanya Sholat Dhuha, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri melaksanakan Sholat Dhuha pada hari penaklukan Kota Makkah sebanyak delapan (8) rakaat di rumah saudari Ali bin Abi Tholib, Ummu Hani’ -radhiyallahu anhuma-.
Dari Abu Murroh (bekas budak Aqil) berkata,
أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِى طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ. قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى
“Bahwa Ummu Hani telah meceritakan kepadanya bahwa tatkala tahun penaklukan Kota Makkah, Ummu Hani’ mendatangi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang beliau berada bagi atas Kota Makkah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bangkit menuju air mandinya. Fathimah menutupi beliau. Kemudian beliau mengambil pakaiannya, lalu berselimut dengannya. Kemudian beliau melakukan Sholat Dhuha sebanyak delapan rakaat”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (336)]
Dalam riwayat Muslim (336) lainnya,
فَلَمْ أَرَهُ سَبَّحَهَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ
“Ummu Hani’ berkata, “Aku tidaklah pernah melihat beliau Sholat Dhuha sebelum dan sesudahnya”.
Dari riwayat ini, sebagian orang menyangka Sholat Dhuha bukanlah sholat sunnah yang boleh dilazimi, dengan dalih bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri tidak melaziminya!!
Sangkaan ini batil, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak melaziminya karena beliau takut jika beliau melaziminya, maka akan turun perintah dan kewajibannya dari langit.
Sholat Dhuha ini  serupa dengan Sholat Tarwih. Beliau tidak melaziminya, padahal beliau dalam banyak hadits menjelaskan keutamaannya, karena beliau takut jika dilazimi, maka akan turun kewajiban sholat itu dari Allah.
Dari A’isyah -radhiyallahu anha-, ia berkata
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- meninggalkan suatu amalan, sementara itu beliau menyukai untuk mengamalkannya, karena takut jika hal itu diamalkan oleh manusia, sehingga hal itu pun diwajibkan atas mereka. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah pernah melakukan sholat Dhuha sama sekali. Tapi sungguh aku melaksanakan Sholat Dhuha ini”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1128) dan Muslim dalam Shohih-nya (718)]
Di dalam riwayat lain, Abdullah bin Syaqiq berkata kepada A’isyah -radhiyallahu anha-,
أَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الضُّحَى قَالَتْ لاَ إِلاَّ أَنْ يَجِىءَ مِنْ مَغِيبِهِ
“Apakah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melakukan Sholat Dhuha?” Ia (A’isyah) berkata, “Tidak, kecuali jika beliau datang dari safarnya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (716) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (1292)]
Jadi, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meninggalkannya, karena khawatir jika beliau lazimi, maka Sholat Dhuha akan berubah hukumnya menjadi wajib.
Adapun persaksian A’isyah -radhiyallahu anhu- bahwa ia tak pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan Sholat Dhuha, maka persaksian itu berdasarkan apa yang beliau ketahui. Namun sahabat lain adalah hujjah yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melakukannya sebagaimana dalam hadits Ummu Hani’ di atas, dan berdasarkan hadits di bawah ini:
Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ الصَّلَاةَ مَعَكَ وَكَانَ رَجُلًا ضَخْمًا فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا وَنَضَحَ طَرَفَ الْحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ آلِ الْجَارُودِ لِأَنَسٍ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى قَالَ مَا رَأَيْتُهُ صَلَّاهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ
“Seorang pria Anshor berkata, “Sesungguhnya aku tak mampu sholat bersamamu (yakni, bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”). Pria itu seorang yang besar (gemuk)
Kemudian ia pun membuat makanan untuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu ia mengundang beliau ke rumahnya. Dia hamparkan tikar untuk beliau dan memerciki pinggir tikar itu.
Kemudian Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sholat di atasnya sebanyak dua rakaat.
Lalu berkatalah seorang lelaki dari kalangan Alu Jarud kepada Anas, “Apakah dahulu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melaksanakan Sholat Dhuha?”
Anas menjawab, “Aku tak pernah melihat Sholat Dhuha, selain hari itu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no, 670)]
Persaksian A’isyah tersebut bisa juga dipahami bahwa ia tak pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melazimi sholat tersebut[1], atau mungkin itu adalah pernyataan beliau pertama kali, walaupun setelah itu beliau berubah dan rujuk dari pernyataan itu.
Ini dikuatkan oleh hadits yang berasal dari A’isyah -radhiyallahu anha- sendiri. Sekarang ada baiknya kami nukilkan lafazhnya agar kita semakin yakin bahwa A’isyah tidak meniadakan perkara Sholat Dhuha yang dilakukan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
A’isyah -radhiyallahu anha- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ
“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melakukan Sholat Dhuha sebanyak empat rakaat atau lebih sebagaimana yang Allah kehendaki”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 719)]
Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, kami akan nukilkan ucapan seorang ulama dari India yang bernama Muhammad Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah-, saat beliau berkata,
“Hadits-hadits yang teriwayatkan dalam Shohih Muslim dan selainnya ini, semuanya cocok (ketemu). Tak ada perselisihan di antara keduanya di sisi para muhaqqiqin. Walhasil bahwa Sholat Dhuha adalah sunnah mu’akkadah. Paling minimalnya adalah dua rakaat dan paling sempurnanya adalah delapan rakaat. Diantara kedua hal ini, empat atau enam rakaat. Keduanya lebih sempurna dibandingkan dua rakaat dan di bawah delapan rakaat. Adapun pengkompromian antara dua hadits A’isyah dalam meniadakan Sholat Dhuha-nya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan penetapannya, yaitu bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa melakukannya pada sebagian waktu, karena keutamaan Sholat Dhuha, dan meningalkannya, karena khawatir jika Sholat Dhuha diwajibkan sebagaimana yang disebutkan oleh A’isyah. Ucapan A’isyah, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak melaksanakan Sholat Dhuha, kecuali jika beliau datang dari safarnya”, ditafsirkan bahwa maknanya, “Aku tak pernah melihatnya…”, sebagaimana yang beliau katakan dalam riwayat kedua, “Aku tak pernah melihat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan Sholat Dhuha”. Sebabnya (A’isyah berkata demikian), karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak ada di sisi A’isyah pada waktu Dhuha, kecuali dalam waktu yang jarang. Karena, terkadang Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pada saat itu sedang safar atau terkadang ada, tapi beliau ada di masjid atau di tempat lain. Jika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berada di sisi istri-istrinya, maka A’isyah hanya memiliki satu hari dari sembilan hari. Jadi, sudah tepat ucapan, “Aku tak pernah melihat beliau…”.”.[Lihat Awnul Ma'bud (4/116-117)]
Jadi, Sholat Dhuha walaupun jarang dikerjakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, tapi bukan berarti bahwa tak boleh melaziminya. Beliau meninggalkannya dalam kebanyakan waktunya, karena alasan takut jika diwajibkan!!
Terakhir kami wasiatkan kepada para pencinta sunnah agar melazimi Sholat Dhuha ini. Di balik amalan ini terdapat pahala yang besar.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash -radhiyallahu anhuma-, ia berkata,
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً ، فَغَنِمُوا ، وَأَسْرَعُوا الرَّجْعَةَ ، فَتَحَدَّثَ النَّاسُ بِقُرْبِ مَغْزَاهُمْ ، وَكَثْرَةِ غَنِيمَتِهِمْ ، وَسُرْعَةِ رَجْعَتِهِمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَقْرَبَ مِنْهُ مَغْزًى ، وَأَكْثَرَ غَنِيمَةً ، وَأَوْشَكَ رَجْعَةً ؟ مَنْ تَوَضَّأَ ، ثُمَّ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لِسُبْحَةِ الضُّحَى ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزًى ، وَأَكْثَرُ غَنِيمَةً ، وَأَوْشَكُ رَجْعَةً.
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan. Mereka memperoleh ghanimah dan bersegera pulang. Lalu manusia pun memperbincangkan tentang sebentarnya peperangan mereka, banyaknya ghanimah mereka dan cepatnya kepulangan mereka.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu lebih sebentar peperangannya, lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kepulangannya dibandingkan mereka?Barangsiapa yang berwudhu’, lalu ia pergi ke masjid untuk Sholat Dhuha, maka ia lebih sebentar peperangannya, lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kepulangannya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad(2/175) dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (no. 100). Hadits ini dinyatakan hasan-shohih oleh Al-Albaniy dalamShohih At-Targhib (no. 668)]
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثا فأعظموا الغنيمة وأسرعوا الكرة فقال رجل : يا رسول الله ما رأينا بعث قوم أسرع كرة ولا أعظم غنيمة من هذا البعث فقال صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بأسرع كرة وأعظم غنيمة من هذا البعث ؟ رجل توضأ في بيته فأحسن وضوءه ثم تحمل إلى المسجد فصلى فيه الغداة ثم عقب بصلاة الضحى فقد أسرع الكرة وأعظم الغنيمة  
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan. Mereka menganggap ghanimah itu besar dan mereka bersegera pulang. Berkatalah seseorang, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat suatu pasukan suatu kaum yang lebih cepat kepulangannya dan tidak pula lebih besar ghanimahnya dibandingkan pasukan ini”.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Maukah kalian aku kabari tentang orang yang lebih cepat kepulangannya dan lebih besar ghanimahnya dibandingkan pasukan ini? yaitu seorang berwudhu’ di rumahnya, lalu ia perbaiki wudhu’-nya, lalu ia berangkat ke masjid. Dia sholat shubuh di dalamnya. Kemudian ia iringi dengan Sholat Dhuha, maka sungguh ia lebih cepat kepulangannya dan lebih besar ghanimahnya”. [HR. Abu Ya'laa dalam Al-Musnad (no. 6559) dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 2535). Syaikh Al-Albaniy menilai hadits ini shohih dalam Ash-Shohihah (2531)]
Inilah keutamaan yang amat besar bagi mereka yang menghiasi pagi harinya dengan Sholat Dhuha dengan meraih serangkaian kebaikan, keutamaan dan pahala di balik Sholat Dhuha ini.
Semoga dengan risalah ringkas ini, para pembaca sudah mengerti kedudukan Sholat Dhuha ini. Aku berharap semoga Allah menghidupkan sunnah dan ajaran yang indah ini dengan tulisan ringkas ini. Amin…



[1] Apa yang kami nyatakan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Baihaqiy -rahimahullah-. Beliau berkata,“Hadits yang diriwayatkan darinya (yakni, dari A’isyah) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu tidak melaksanakan Sholat Dhuha, kecuali jika beliau datang dari safar. A’isyah hanyalah memaksudkan bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah melaziminya”. [Lihat Ma'rifah As-Sunan wal Atsar (2/334)]

Minggu, 15 Desember 2013

~ GAMBARAN NERAKA DAN PENGHUNINYA ~

gambaran neraka dan penghuninya
__________________________________________________________
segala puji bagi alloh shalawat serta sallam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi muhammad 
shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam,,, Abu_laits mariwayatkan  dengan sanadnya dari abu Hurairah radhiallohu anhu berlkata Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: " alloh memnggil malikat jibrildan menyuruhnya malihat syurga dengan segala persiapanya untuk ahlinyamaka ketika kembali berkata jibril demi sgala kemulianmu tiada seorang yang mendengarnya melaikan ia akan masuk kedalamnya, maka di liputi dalam serba kesukaran, dan menyuruh jibril kembali , maka kembali melihatnya,maka ia berkata , demi kemulianMu saya Khawatir kalau- kalau tiada seorang pun yang masuk kedalamnya ,

kemudian disuruh melihat Neraka dan semua yang di sediakan untuk akhlinya, maka jibril kembali berkata: demi segala kemulianMU , tidak akan masuk kedalamnya orang yang mendengarnya, dengan kemudian diliputi kepuasan, syahwatnya,dan di perintah supaya kembali melihatnya kemudian setelah di lihatnya kembali berkata saya khawatir kalau tiada seorang pun melainkan akan masuk kedalamnya " juga Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam bersabda ; "Kamu bileh menyebut tentang Neraka sesukamu, maka  tiada kamu  menyebut sesuatu melainkan api neraka  itu jauh lebih ngeri dan lebih keras dari padanya ________________________________________________________________________
Abu laits meriwayatkan dengan Sanadnya  dari maimun bin nahran berkata : ketika turun ayat ( yang berbunyi) wa inna jahannam limau'iduhum  ajma'in ( yang bermaksud ) sesungguhnya Neraka Jahanam itu sebagai ancamanbagi semua mereka salman meletakan tangan di atas kepalanya dan lari keluar selama tiga hari baru di temukanya
______________________________________________________________________________

Yaidz arroqqausi dari anas bin malik radhiaulluhu anhu berkata ;" jibril datang kepada nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat tiada biasa datang dalam keadaan berubah mukanya , mak di tanya  oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam

mengapa aku lihat kau berrubah Muka ??,,,

jawab jibril , " ya Muhammad aku datang kepadmu pada saat di man alloh menyuruh supaya di kobarkan api Neraka , maka tidak layak orang yang mengetahui  bahwa neraka jahanam itu benar , siksa kubur itu benar , siksa alloh itu  terbesar unruk bersuka-suka sebelum ia merasa aman  dari padanya,"


lalu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam   bertsabda ,: " ya jibril jelaskan kepadaku  sipat jahanam "

Ya ketika alloh menjadikan jahanam maka dinyalakn seribu tahun sehingga merah , kemudian dilanjutka seribu tahun hingga putih kemudian seribu tahun hingga hitam mak ia hitam gelap tidak pernah padam hingga nyala dan baranya . demi alloh yang mengutus engkau dengan Hak , andai terbuka sebesar ;lubang jarum niscaya akan penduduk dunia semunya karna panasnya , demi alloh yang mengutus engkau dengan hak
andai satu baju akhli neraka di gantung di antara  langit  dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karna panas dan baranya
demi Alloh yang mengutus engkau dengan hak andai satu pergelangan rantai yang di sebut alloh dalam Al_Qur'an diletkan itu di atas bukit niscaya akan cair hingga kebwah bumi yang ketujuh l,Demi alloh , yang mengutus engkau dengan hak  seandainya seorang di hujung tersiksa niscaya akan terbakar orang- orang yang di hujung timur karena sangat panasnya neraka jahanam itu sangat dalam dan perhiasanya besi dan dan minumanya air panas campur nanah dan potongnnya potongn api , api neraka itu ada mempunyanyai tujuh pintu tiap- tiap pintu ada bagian yang tertentu dari orang laki-laki dan perempuan ,"



lalu Nabi Muhamamad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam bertanya :" apakah pintu- pintunya bagai pintu rumah kami ?"

jawabnya : " pintu yang terbawah  untuk orang-orang munafik , orang-orang kafir,setelah di turunkan hidangan mujizijat nabi isa , alaihi sallam serta keluarga fir'aun ,
sedangkan namanya alhawiyah ,
pintu kedua tempat orang-orang musyrikin bernama jahim,,
pintu ketiga tempat orang-orang shobi'in bernama saqor
pintu ke empat tempat iblis laknathulloh dan pengikutnya dari kaum majusi bernama ladha
pintu kelima tempat orang yahudi bernama huthomah
pintu ke emam tempattempat orang-orang nasrani bernama sa'ie

kemudian Nabi segan pada Nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam sehingga nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam bertanya ."

kenapa tidak kau terangkan pintu penduduk ketujuh ? "

jawab;" ya iatu orang yang berdosa besar dari umatmu . "

kemudian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam mengis , jibril juga menangis , kemudian nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam masuk kedalam rumahnya


shallallahu ‘alaihi wa'alahi wasallam

Sabtu, 14 Desember 2013

Hal-Hal yang Menyebabkan Kita Disunnahkan berwudhu’

Hal-Hal yang Menyebabkan Kita Disunnahkan berwudhu’
 
a. Ketika hendak berdzikir dan berdoa kepada Allah

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa bahwa dia pernah mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abu Amir pernah berkata kepadanya,
 “Sampaikan salamku kepada Nabi dan mohonlah kepada beliau untuk memintakan ampun untukku.” Tatkala Abu Musa menyampaikan hal tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air untuk berwudhu’ setelah berwudhu’ beliau mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, “Wahai Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir!” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari (VIII/41) dan Imam Muslim (IV/1944). Kisah di atas terdapat dalam riwayat Muslim.]


b. Ketika hendak tidur

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al_Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila kamu hendak tidur berwudhu’lah sebagaimana kamu berwudhu’ untuk shalat. Kemudian berbaringlah dengan bertumpuh pada tubuh bagian kanan.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al_Bukhari yang disyarah dalam kitab Fathul Bari (XI/113) dan Imam Muslim (IV/2081)]


c. Setiap kali berhadats.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Bilal, lalu berkata padanya, “Hai Bilal, dengan amal apa kamu bias berjalan mendahuluiku di surga? Tadi malam di surga aku mendengar suara terompahmu di depanku.” Bila menjawab, “Setiap kali sehabis menguman-dangkan adzan saya shalat dua raka’at, dan setiap kali berhadats saya berwudhu’.” [Hadits ini diriwayatkan oleh At_Timidzi hadits no. 3954 dan Ahmad (V/360). Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam kitab Shahih At_Tirmidzi (III/205) dan kitab Shahih At_Taghrib wa At_Tarhib (I/87) hadits no. 196. Hadits ini juga dijadikan hujjah untuk berfatwa oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz]


d. Setiap kali hendak shalat.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau sekiranya tidak memberatkan umatku biscaya aku perintahkan mereka untuk berwudhu’ setiap kali hendak shalat dan aku perintahkan bersiwak setiap kali hendak berwudhu’.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam kitab Shahih At_Taghrib wa At_Tarhib (I/86) hadits no. 95]

e. Sehabis membawa jenazah.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa selesai memandikan mayat hendaklah mandi dan barangsiapa selesai membawa jenazah hendaklah berwudhu’.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam kitab Irwa’ Al_Ghalil  (I/173) hadits no. 144 dan kitab Tamam Al_Minnah hal. 112]


f. Sehabis muntah

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mi’dan dari Abu darda’ radhi-yallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila kamu muntah, berbukalah, kemudian berwudhu’lah.” [Hadits ini diriwayat-kan oleh At_Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al_Albani dalam kitab Irwa’ Al_Ghalil  (I/147) hadits no. 111 dan kitab Tamam Al_Minnah, hal. 111. Lihat Ibnu Taimiyah, Syarah Al_’Umdah, hal. 108, dan kitab At_Talkhish Al_Habir (II/190).]


g. Setelah memakan makanan yang dipanggang/dibakar

Berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berwudhu’lah kalian sehabis makan makanan yang tersentuh api.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (I/272)]
Perintah dalam hadits di atas, kita hukumi sunnah karena ada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Amru bin Ummayah, dan Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah suatu ketika makan daging yang dipanggang/dibakar, kemudian langsung shalat tanpa berwudhu’ lagi. [HR. Al_Bukhari hadits no. 5408 dan Muslim (I/273)]


h. Hendak makan dalam keadaan junub

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dalam keadaan junud, lalu ingin makan atau tidur, beliau berwudhu’ sebagaimana wudhu’ ketika hendak shalat.” [HR.  Muslim (I/248) hadits no. 305]


i. Ketika hendak mengulang persetubuhan.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian bersetubuh dengan istrinya, lalu hendak mengulang, hendaklah berwudhu’ terlebih dahulu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (I/249) hadits no. 308]
Adapun berkenaan dengan mandi ketika hendak mengulang persetubuhan ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir istri-istrinya dengan satu kali mandi. [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu (I/249) hadits no. 309]


j. Ketika inggin tidur dalam keadaan junub

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur dalam keadaan junub?” Dia menjawab, “Ya, setelah beliau berwudhu’ terlebih dahulu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bertanya, “Bolehkah salah seorang kami tidur dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berwudhu’ atau kalau mau sekalian mandi, kemudian tidur.” [HR. Al_Bukhari dan Muslim]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz pernah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang junub, lalu ingin tidur, beliau mandi terlebih dahulu. Dalam masalah orang junub hendak tidur ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
  1. Tidur tidak berwudhu’ atau mandi terlebih dahulu. Ini tidak diperbolehkan, karena menyelisih sunnah.
  2. Cebok, lalu berwudhu’ sebagaimana ketika hendak shalat, lalu tidur. Ini diperbolehkan.
  3. Berwudhu’, lalu mandi terlebih dahulu, kemudian tidur. Ini yang paling afdhal. [Lihat Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, Syarah ‘Umdah Al_Ahkam, hal. 30]
Demikianlah pembahasan dalam bab wudhu’ ini. Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama_Nya yang agung dan sifat-sifat_Nya yang mulia agar menjadikan amalan saya yang sedikit ini menjadi amalan yang berkah dan ikhlash semata-mata karena mengharapkan wajah_Nya yang mulia, serta menjadikan sarana pendekat kepada surga_Nya bagi penulis, penerbit, pembaca, dan orang-orang yang berpartisipasi dalam menyebarkan tulisan ini.

Saya juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tulisan ini bermanfaat bagi saya dan semua orang yang membutuhkannya. Sesungguhnya Allah-lah sebaik_baik tempat memohon dan semulia_mulia tempat berharap.

☆╰♥♥●•☆ KuTitipkan Rasa ini padaMu, Ya Robbi ☆╰♥♥●•☆



Bismillahirrohmannirrohim



Ah…
Ada apa dengan hati?? Terlalu dini aku harus memikirkannya. Hanya kuanggap debu yang terbawa angin dan mampir sekejap saja. Segera ku menyekanya dengan sapu tangan dalam angan.


Aku hanya ingin menetralisir rasa agar steril dari semua yang kuanggap tak penting untuk sekedar hinggap.

Lain waktu, eh…kembali datang. Angin memang tak pandang membawa apa dan harus mampir dimana,
angin memang pemurah, memberi tumpangan pada siapa saja dan pada apa saja.

Kali ini mampir lagi, namun ku seka sedikit saja, ku katakan pada diriku, nanti akan ku basuh biar lebih cemerlang…hohoho…aku pun tersenyum dan mengalihkan fikiran.

Kali ini, aku tak kuasa. Yang diserangnya adalah organ yang berkaitan dengan seluruh rasa. Menyerang otak, fikiran, dan tentunya di manalagi kalau bukan tempat penuh humus untuk bercocok tanam dan menyemai rasa yaitu HATI.

Waaaaaahhh….jangan gilaaaaa duuuunnnkkkk…!!! aku tak kuasaaaaa…, terlalu beraaatttzzz!!!. Bibirku berucap istighfar terus melawan fikiran yang sedari tadi selalu terbayang rasa.

Huuuuffffhhh… kali ini aku mendesah, lemah namun pasti. Ya Robbi, apa yang mendera?? Sempat terfikir bahwa aku harus mengakuinya, toh tak ada yang terdzolimi dengan apa yang kurasa, karena semua manusia di dunia pasti juga merasakannya.

Aku tak harus berbohong untuk sesuatu yang wajar bagi logika, ya logika kita sebagai manusia. Aku harus berani mengakuinya, rasa itu ada karena satu kata penuh makna, yaitu ‘ ♥ cinta ♥ ’. Ah…lega rasanya, sudah kuteriakkan dalam hati…hehehehe:-D

walaupun –dia- tak mendengarkannya.

Baiklah, kali ini aku berdamai dengan rasa. Ya Allah…Engkau tak hanya memberikan rasa sedih dan senang pada setiap hamba, namun Kau berikan juga semua rasa.
Pelangi itu terlalu indah untuk dihapuskan, namun takkan indah jika terlukis paksa tanpa ridho dariNya.

Allah..-dia- yang kau cipta, dalam pandanganku biasa saja, apa adanya, satu hal yang ku suka bagus agamanya, hmmmmm….

tapi, ada tapinya ya Allah,,,’apakah demikian dalam padanganMu???’.

Ah…aku tak mau menerka-nerka, berspekulasi antah berantah dalam bayangan semu. Biarlah waktu yang akan menentukan arahnya dan memberi jawab sesuai kehendak Yang Kuasa.

Allah…Kau tahu sejauh mana bentuk ikhtiarku, namun…aku tak berani memastikan sejauh mana –dia- berikhtiar, karena itu semua rahasia.

Allah…aku tak berani melangkah tanpa kehendakMu, tak berani memelihara rasa tanpa seizinMu, maka biarlah kusimpan sejenak atau selamanya.

Allah…
Kau Berkuasa atas Segala Rasa, maka satu yang ku pinta
titip RINDU-ku & CINTA-ku buat -dia- yang akan kau pilih buat mendampingiku kelak

note : saudaraku seiman, tak ada yang menyalahkan kau memiliki rasa ‘cinta’, akan lebih afdhol ketika rasa itu di tujukan bagi Sang Pemberi Rasa, namun jikapun nantinya kau ingin membagi rasa, maka siapkan porsi seadanya, namun tetap porsi JUMBO hanya untukNya, Sang Pemilik Cinta…
selamat menikmati rasa.