Rabu, 03 September 2014

IHYA ULUMUDDIN bagian satu

PENJELASAN: besarnya bahaya lidah dan keutamaan diam.
Ketahuilah, bahwa bahaya lidah itu besar. Tiada teriepas daripada baha- yanya, selain dengan diam. Maka karena itulah, Agama memuji diam dan mengajak kepada diam.
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda.
من صمت نجا
(Man shamata najaa).
Artinya: "Barangsiapa diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)". (1).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:
الصمت حكم وقليل فاعله
(Ash-shamtu hukmun wa qaliilun faa'iluh).
Artinya: "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang melaksanakannya (2).
Hukum pada hadits ini, artinya: hikmah dan memikirkan akibat. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Sufyan dari ayahnya, dimana ayahnya berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku tentang Islam, akan sesuatu hal, dimana aku tiada akan bertanya Iagi tentang itu, kepada seseorang, sesudah engkau!".
(1)
Dirawikan At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dengan sanad dla'if.
(2)
Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Ibriu Umar, dengan sanad dla'if.
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah! Aku beriman dengan Allah. Kemudian engkau berpendirian teguh".
Ayah Abdullah itu meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bertanya: "Apakah yang aku pelihara?". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya". (1).
'Uqbah bin 'Amir berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah jalan kelepasan?".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Tahankan lidahmu! Hendaklah rumahmu memberi kelapangan bagimu dan menangislah atas kesalahanmu!". Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsi- apa menjamin bagiku, apa yang diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang diantara dua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin baginya sorga". (2).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya dan laqlaqnya, niscaya ia terjaga dari kejahatan seluruhnya".(3).
Qabqab iaitu perut / Dzabdzab Iaitu Kemaluan / LaqLAq Iaitu Lidah
Hawa-nafsu yang tiga inilah yang membinasakan banyak manusia. Karena itulah, kami menyibukkan diri kami, menyebutkan bahaya lidah sesudah kami selesai daripada menyebutkan bahaya nafsu-syahwat: perut dan kemaluan.
Ditanyakan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . tentang sebab terbesar, yang membawa ma­nusia masuk sorga. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Taqwa kepada Allah dan bagus akhlaq". Dan ditanyakan pula sebab terbesar yang mem­bawa manusia masuk neraka.
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dua rongga badan, yaitu: mulut dan kemaluan" (4).
Maka mungkin yang dimaksud dengan mulut itu, ialah: bahaya lidah. Ka­rena mulut itu tempat lidah. Dan mungkin pula yang dimaksud perut, ka­rena mulut itu, tempat yang tembus dari perut.
Ma'az bin Jabal berkata: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Adakah ki­ta ini disiksa dengan apa yang kita katakan?".Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dipupus kamu oleh ibumu, hai Ibnu Jabal! Adakah manusia meringkuk dalam neraka atas hidungnya, selain oleh yang diketam (diperbuat) lidahnya?" (5).
(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih.
(2)  Dirawikan AJ-Bukhari dari Sahl bin Sa'ad.
(3)  Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Anas dengan sanad dla'if.
(4) Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
(5)  Dirawikan Ibnu Majah dan A1 Hakim.
10
Abdullah Ats-Tsaqafi berkata: "Aku berkata: "Wahai Rasulu'llah! Khabarkanlah kepadaku akan sesuatu, yang akan aku pegang teguh!". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah!: Tuhanku Allah. Kemu­dian, kamu berpendirian teguh (istiqamah)!".
Aku bertanya lagi: "Wahai Rasulu'llah! Apakah yang lebih engkau takuti padaku?".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . lalu mengambil lidahnya, seraya bersabda: "Ini!" (1). Diriwayatkan, bahwa Ma'az bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Amal apakah yang paling utama?".
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mengeluarkan lidahnya. Kemudian meletakkan ja- rinya atas lidah itu" (2).
Anas bin Malik berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tidaklah berdiri teguh (lurus) iman hamba Allah, sebelum berdiri teguh (lurus) hatinya. Dan hatinya itu tidak berdiri teguh (lurus) sebelum berdiri teguh (lurus) lidahnya. Dan tidak akan masuk sorga seseorang, dimana tetangganya ti­dak merasa aman dari kejahatannya". (3).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
(Man sarra-hu an yaslama fal-yalzamish-shamta).
من سره أن يسلم فليلزم الصمت
Artinya: "Barangsiapa suka selamat, maka hendaklah ia membiasakan di­am" (4).
Dari Sa'al bin Jubair (hadits marfu') yang diteruskan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . (5), bahwa beliau bersabda: "Apabila anak Adam (manusia) itu berpagi hari, niscaya semua anggota badannya memperingatkan lidah. Arti­nya: anggota badan itu berkata: "Takutilah Allah mengenal kami. Karena jikalau engkau berdiri lurus, niscaya kami pun dapat berdiri lurus. Dan ji kalau engkau bengkok (menyeleweng), niscaya kami pun menjadi beng- kok". (6).
Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Al-Khattab r.a. melihat Abubakar Ash- Shiddiq r.a., menarik lidahnya dengan tangannya. Lalu 'Umar bertanya kepada-Abubakar: "Wahai Khalifah Rasulu'llah! Apakah yang anda per- buat?".Abubakar Ash-Shiddiq r.a. menjawab: "Ini mendatangkan kepadaku jalan yang kebinasaan.
(1)   Dirawikan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih,
(2)  Dirawikan Ath-Thabrani dan Ibnu Abid-Dun-ya.
(3)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan sanad lemah.
(4)  Dirawikan Al-Baihaqi dari Anas dengan sanad dla if.
(5)  Hadits Marfu', yaitu: hadits yang sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ., teta- pi disampaikan juga, sedang di antara perawi yang terang namanya dan nabi صلى الله عليه وسلم . ada perawi-perawi yang tidak diketahui atau dilampaui.
(6)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Sa'id Al-Khudri.
11
Sesungguhnya Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
ليس شيء من الجسد إلا يشكو إلى الله عز وجل اللسان على حدته
(Laisa syai-un minal-jasadi illaa yasykuu ilal-laahil-lisaana 'alaa hiddatih).
 Artinya: "Tiada suatu pun dari tubuh, yang tiada mengadu kepada Allah tentang lidah diatas ketajamannya" (1).
Dari Ibnu Mas'ud diriwayatkan, bahwa ia berada atas bukit Shafa, membaca talbiah (2), seraya mengatakan: "Hai lidah! Katakanlah yang baik, niscaya engkau beruntung! Diamlah dari yang jahat, niscaya engkau sela- mat, sebelum engkau menyesal!".
Lalu orang bertanya kepada Ibnu Mas'ud tadi: "Hai ayah Abdurrahman! Adakah ini engkau katakan sendiri atau engkau dengar dari orang lain?".
Ibnu Mas'ud menjawab: "Tidak! Tetapi aku dengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Bahwa kebanyakan dosa anak Adam itu, pada lidahnya". (3). Ibnu 'Umar berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa mencegah lidanya daripada memperkatakan kehormatan orang, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (hal-hal yang memalukan kalau diketahui orang lain). Barangsiapa menguasai kemarahannya, niscaya ia dipelihara oleh Allah akan azabnya. Dan barangsiapa meminta kelonggaran pada Allah? niscaya diterima oleh Allah kelonggarannya". (4).
Diriwayatkan, bahwa Ma'az bin Jabal berkata: "Wahai Rasulu'llah! Beri kanlah kepadaku kata-kata wasiat!".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Sembahlah (beribadahlah) akan Allah, se akan-akan engkau melihatNya! Dan hitunglah dirimu dalam golongan orang yang sudah mati! Jikalau engkau mau, akan kuberi-tahukan kepada- mu, sesuatu yang lebih kamu miliki dari ini semua". Seraya Nabi صلى الله عليه وسلم . menunjukkan dengan tangannya kepada lidahnya".
Dari Shafwan bin Salim, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apakah tidak aku kabarkan kepadamu, ibadah yang paling mudah dan paling ringan kepada badan? Yaitu: diam dan bagus akhlak". Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت
(Man kaana yu'minu biHaahi wal-yau-mil-aakhiri fal-yaqul khairan au li- yaskut).
(1)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, Abu Yu'Ia dan Iain-Iain dari Aslam, bekas budak Umar r.a.
(2)  Membaca: "Labbaika Allaahumma labbaik" pada waktu hajji.
(3)  Dirawikan Ath-Thabrani, Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi dengan sanad baik.
(4) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan sanad baik.
12
Artinya: Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam". (1).
Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Disebutkan kepada kami, bahwa Rasulu'­llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Diberi rahmat oleh Allah kepada seorang hamba, yang berkata-kata, lalu memperoleh faedah. Atau diam, maka ia selamat" (2).
Ada orang yang meminta kepada Isa a.s. dengan katanya: "Tunjukilah kami suatu amalan, yang membawa kami masuk sorga!". Lalu nabi Isa a.s. menjawab: "Jangan kamu bertutur-kata selama-lamaya!". Maka mereka menjawab: "Kami tidak sanggup demikian". Lalu nabi Isa a.s. berkata: "Jangan kamu bertutur-kata, selain yang keba­jikan". Nabi Sulaiman bin Daud a.s. bersabda: "Kalau berkata itu perak, maka diam itu emas".
Dari Al-Barra' bin 'Azib, yang mengatakan: "Seorang Arab desa datang pada Nabi صلى الله عليه وسلم ., lalu berkata: "Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, yang membawa aku masuk sorga!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab:
أطعم الجائع واسق الظمآن وأمر بالمعروف وانه عن المنكر فإن لم تطق فكف لسانك إلا من خير
(Ath'imil-jaa-i'a wasqidh-dham 'aana wa'mur bil-maruufi wanha 'anil-munkari fa in lam tuthiq fa-kuffa lisaanaka illaa min khair). Artinya: "Berilah makan orang yang lapar dan berilah minum orang yang haus! Suruhlah yang baik (amar ma'ruf) dan laranglah yang munkar (nahi munkar)! Jikalau engkau tidak sanggup, maka cegahlah lidahmu, selain yang kebajikan!" (3).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Simpanlah lidahmu, selain pada yang kebajikan! Karena dengan demikian, engkau dapat mengalahkan setan". (4). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya Allah pada lidah setiap orang yang berkata. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah, manusia yang mengetahui apa yang dikatakannya!".
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apabila kamu melihat orang mu'min itu pendiam dan mempunyai kehormatan diri, maka dekatilah dia! Karena ia akan mengajarkan ilmu-hikmah". (5).
(1)   1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(2)  2.Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi dari Anas, dengan sanad dla'if.
(3)  3.Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dengan isnad baik.
(4)  4.Dirawikan Ibnu Hibban dari- Abi Dzar.
(5)  5.Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Khallad.
13
Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
"Manusia itu tiga macam: yang mendapat pahala, yang selamat dari dosa yang binasa.
Yang mendapat pahala, ialah yang mengingati Allah (berzikir akan Allah).
Yangselamat dari dosa, ialah yang diam.
Dan yang binasa, ialah yang masuk da­lam perbuatan batil". (1).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya lidah orang mu'min itu dibelakang hatinya. Apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu, niscaya dipahami nya dengan hatinya.Kemudian, dilalukannya dengan lidahnya. Dan lidah orang munafiq itu, dihadapan hatinya. Apabila ia bercita-cita akan sesuatu, niscaya dilalukan­nya dengan lidahnya dan tidak dipahaminya dengan hatinya" Dirawikan Al-Kharaithi dari Al-Hasan Al-Bashari.).
Nabi Isa a.s. bersabda: "Ibadah itu sepuluh bahagian. Sembilan bahagian daripadanya pada diam. Dan sebahagian lagi pada lari dari manusia".
Nabi kita صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak terperosoknya. Barangsiapa banyak terperosoknya, niscaya banyak dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya, niscaya neraka lebih utama baginya" (3).
Dari atsar (ucapan para sahabat), diantaranya, ialah: Abubakar Siddiq r.a. meletakkan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah dirinya dari berkata-kata. Ia menunjukkan kepada lidahnya dan berkata: "Inilah yang mendatangkan kepadaku hal-hal kebinasaan".
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Demi Allah, yang tiada disembah, selain DIA. Tiadalah sesuatu yang lebih memerlukan kepada lamanya ditahan, selain lidah".
Ibnu Thaus berkata: "Lidahku itu binatang buas. Jikalau aku lepaskan, niscaya ia makan aku".
Wahab bin Munabbih .berkata tentang' hikmah keluarga Daud a.s., bawa menjadi hak kewajiban orang yang berakal, mengetahui keadaan zaman- nya, menjaga lidahnya dan menghadapi dengan baik persoalannya". Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Tiada memahami agamanya yang tiada menjaga lidahnya".
Al-Auza'i berkata: "Khalifah Umar bin Abdul-aziz r.a. menulis surat ke­pada kami, yang bunyinya sebagai berikut:-
"Adapun kemudian, sesungguhnya orang yang banyak mengingati mati, niscaya rela dengan mendapat sedikit dari dunia. Dan orang yang menghitung perkataannya dari perbuatannya, niscaya sedikitlah perkataannya, kecuali pada yang diperlukannya".
Setengah mereka berkata: "Diam itu mengumpulkan dua kelebihan bagi seseorang: selamat pada agamanya dan memahami tentang temannya". Muhammad bin Wasi' berkata kepada Malik bin Dinar: "Hai Abu Yahya! Menjaga lidah itu lebih sukar bagi manusia, daripada menjaga dinar dan dirham (harta)".
Yunus bin 'Ubaid berkata: "Tiada seseorang manusia yang lidahnya diatas yang baik, melainkan aku melihat kebaikan itu pada amalannya yang lain".
(1)  1.Dirawikan Ath-Thabrani dan Abu Yu'la dari Abi Sa'id Al-Khudri.
(2)  2.Dirawikan Al-Kharaithi dari Al-Hasan Al-Bashari.
(3)  3.Dirawikan Abu Na'im dari Ibnu 'Umar dengan sanad dla'if.
14
Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Suatu kaum (golongan) berkata-kata disamping Mu'awiah bin Abi Sufyan. Dan Al-Ahnaf bin Qais itu diam. Lalu Mu'awiah bertanya kepada Ai-Ahnaf: "Bagaimana engkau, hai Aba Bahr, tiada berkata-kata?". Lalu Al-Ahnaf menjawab: "Aku takut kepada Allah, jikalau aku bohong dan aku takut kepada engkau, jikalau aku benar".
Abubakar bin 'Ayyasy berkata: "Berkumpullah empat orang raja, yaitu: raja India, raja Cina raja Parsia (Kisra) dan raja Rum (Kaiser). Salah se­orang mereka berkata: "Aku menyesal terhadap apa yang sudah aku kata- kan dan tidak menyesal terhadap apa yang tidak aku katakan". Yang lain berkata pula: "Aku apabila berkata-kata dengan suatu perkataan, maka perkataan itu menguasai aku dan aku tiada menguasainya. Dan apabila aku tiada berkata-kata dengan perkataan itu, maka aku menguasainya dan ia tiada menguasai aku". Yang ketiga berkata: "Aku heran terhadap orang yang berbicara, jikalau perkataannya itu kembali kepadanya, nisca­ya mendatangkan kemelaratan baginya. Dan jikalau tidak kembali, nisca­ya tiada bermanfaat baginya". Raja yang keempat berkata. "Aku lebih sanggup menolak apa yang tidak aku katakan, daripada menolak apa yang aku katakan".
Ada yang mengatakan, bahwa Al-Mansur bin Al-Mu'taz tinggal, tidak berkata-kata dengan sepatah katapun sesudah shalat 'lsya, selama empat- puluh tahun. Ada yang mengatakan, bahwa Ar-Rabi' bin Khaisan tidak berkata-kata dengan perkataan dunia, selama duapuluh tahun. Apabila pagi hari, ia meletakkan tinta, kertas dan pena, lalu semua yang diucap- kannya ditulisnya. Kemudian, ia memperhitungkan dirinya pada sore hari. Kalau anda bertanya: kelebihan besar ini bagi diam, apa sebabnya? Maka ketahuilah, bahwa sebabnya adalah banyaknya bahaya lidah, dari kesalah- an, bohong, mengupat, lalat merah, ria, nifaq (sifat bermua dua), perka­taan keji, perbantahan, membersihkan diri, terjun dalam perbuatan batil , permusuhan, perbuatan yang sia-sia, menyeleweng, menambahkan, mengurangi, menyakiti orang lain dan merusak kehormatan orang (mem- buka hal-hal yang seharusnya ditutup).
Inilah bahaya yang banyak. Dan yang menghalau kepada lidah, yang tidak berat bagi lidah. Mempunyai keenakati pada hati. Ada penggerak-penggerak dari sifat (tabi'at) manusia dan dari setan. Orang yang terjun pada hal-hal diatas, sedikitlah yang sanggup menahan lidahnya. Lalu dilepaskannya menurut yang disukainya dan ditahannya dari yang tiada disukainya- Yang demikian itu termasuk pengetahuan yang sulit, sebagaimana akan datang uraiannya.
Terjun dalam hal-hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang terkan-
15
Terjun dalam hal-hal tersebut itu berbahaya. Dan pada diam itu selamat. Maka karena itulah, besar keutamaan diam. Dan ini bersama yang terkandung dalam diam itu, yaitu: terkumpulnya cita-cita, tetapnya kehormatan diri, penggunaan waktu untuk berfikir, untuk berzikir dan untuk beribadah, selamat dari mengikutkan kata kata pada urusan duniawi dan dari hi- tungannya (hisabnya) dihari akhirat. Allah Ta'ala berfirman:-
(Maa jalfidlu min qaulin illaa ladai-hi raqiibun 'a-tiid). Artinya: "Tiada suatu perkataan yang diucapkan - manusia - malainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)". S. Qaf, ayat 18. Ada suatu hal yang menunjukkan kepada engkau atas utamanya selalu di­am, yaitu: bahwa perkataan itu empat bahagian:-
1.  Melarat semata-mata.
2.  Manfa'at semata-mata.
3.  Ada padanya melarat dan manfa'at.
4.  Tidak ada padanya melarat dan manfa'at.
Adapun yang melarat semata-mata, maka haruslah diam daripadanya. Be- gitu pula yang padanya melarat. Dan manfa'at itu tidak sempurna dengan a- danya melarat. Adapun yang tak ada padanya manfa'at dan melarat, maka itu hal yang sia-sia. Berbuat dengan hal yang sia-sia itu membuang-buang waktu. Dan itu adalah kerugian yang sebenarnya. Maka tinggal lagi baha­gian keempat. Berguguranlah tiga-perempat perkataan dan tinggallah seperempat. Dan yang seperempat ini ada pula bahayanya. Karena bercampur dengan perkataan, yang ada padanya dosa, yaitu: ria yang sangat halus, ber- buat-buat perkataan, mengupat, membersihkan diri dari perkataan sia-sia, suatu percampuran yang sukar diketahui. Maka manusia berada dalam ke- adaan bahaya.
Barang siapa mengetahui bahaya lidah yang halus-halus, sebagaimana yang akan kami sebutkan niscaya pasti ia mengetahui, bahwa apa yang disebutkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . adalah uraian ucapan, dimana beliau bersabda:-
من صمت نجا
(Man shamata najaa).
Artinya: "Barangsiapa diam, niscaya ia teriepas dari bahaya". (1) Sesungguhnya, demi Allah, sudah pasti dianugerahkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . mutiara hikmah dan kata-kata yang menghimpunkan segala maksud. Dan ti­ada yang mengetahui pengertian-pengertian yang melaut Iuasnya yang terkandung dibawah satu-satu kalimat-ucapannya, selain ulama-ulama tertentu. Apa yang akan kami sebutkan nanti tentang bahaya-bahaya dan kesulitan
(1) Hadits ini .sudah diterangkan dulu.
16
menjaganya, akan memperkenalkan kepada anda hakikatnya itu, insya Al­lah Ta'ala. Dan kami sekarang akan menghitung bahaya-bahaya lidah. Akan kami mulai dengan yang seringan-ringannya dan akan kami mendaki kepada yang sedikit lebih berat. Dan akan kami akhiri memperkatakan tentang mengupat, lalat merah dan dusta. Karena amat panjang untuk meninjau pada hal-hal tersebut. Yaitu: duapuluh bahaya. Maka ketahuilah yang de­mikian, niscaya anda akan memperoleh petunjuk dengan pertolongan Allah Ta'ala.
BAHAYA PERTAMA: perkataan pada yang tidak memerlukan. Ketahuilah, bahwa keadaan anda yang paling baik, ialah bahwa anda memelihara kata-kata anda dari semua bahaya yang sudah kami sebutkan da hulu, yaitu dari mengupat, lalat-merah, bohong, berbantah, bertengkar dan lain-lain sebagainya. Dan anda berkata-kata mengenai yang mubah (yang diperbolehkan), yang tidak ada sekali-kali mendatangkan melarat atas anda dan atas orang muslim. Kecuali anda berkata-kata dengan apa yang tidak an­da perlukan. Dan tak ada hajat keperluan padanya. Maka anda sudah menyia-nyiakan waktu anda. Dan mengadakan perhitungan (hisab) terhadap perbuatan lidah anda. Dan anda menggantikan sesuatu yang kurang baik, dengan yang baik. Karena jikalau anda alihkan masa berkata-kata itu ke­pada berfikir, niscaya kadang-kadang akan membukakan bagi anda pemberian rahmat Allah ketika berfikir yang besar faedahnya. Jikalau anda membaca tahlil (mengucapkan "Laa ilaaha i'llallaah), berzikir dan meng- ucapkan tasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, niscaya adalah lebih baik bagi anda. Berapa banyak kalimat yang dapat dibangun istana dalam sorga. Siapa yang sanggup mengambil satu dari gudang-gudang, lalu diambilnya tempat itu menjadi tempat tanah, yang tidak dimanfa'atkannya, niscaya ia merugi, kerugian yang nyata.
Inilah contoh orang yang meninggalkan zikir kepada Allah Ta'ala dan berbuat dengan perbuatan yang diperbolehkan, yang tidak diperlukannya. Ka­rena walaupun ia tidak berdosa, tetapi ia merugi, dimana telah lenyap keuntungan besar dengan berzikir kepada Allah Ta'ala. "Sesungguhnya orang mu'min itu, diamnya adalah berpikir, pandangannya, adalah ibarat dan tutur-katanya adalah zikir", begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم . ber­sabda (1).
(1) Menurut Al-Iraqi, ia tidak pernah menjumpai hadits ini
17
Bahkan modal seorang hamba Allah itu, ialah: waktunya. Manakala diarahkannya waktunya itu kepada yang tidak diperlukannya dan tidak disimpan- nya untuk pahala diakhirat, maka sesungguhnya ia sudah menyia-nyiakan modalnya. Karena inilah,
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda.-
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
(Min husni islaamil-mar-i tarkuhu maa Iaa ya'niih).
Artinya: "Diantara bagusnya Islam manusia itu, ialah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya". (1).
Bahkan tersebut pada hadits yang lebih berat dari yang tadi, dimana Anas berkata: "Seorang anak-anak dari kami (golongan Anshar) telah shahid pa­da hari perang Uhud. Lalu kami dapati diatas perutnya batu terikat, lantaran lapar. Maka ibunya menyapu tanah dari mukanya, seraya berkata: "Se­lamat, sorga bagimu wahai anakku!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Dimana engkau tahu?. Mungkin ia berkata-kata yang tak diperlukan dan ia tidak ber­kata-kata, apa yang tidak mendatangkan melarat baginya". (2).
Pada hadits lain tersebut: "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . kehilangan Ka'ab bin 'Ajrah. Lalu beliau tanyakan dimana Ka'ab sekarang. Mereka menjawab: "Ia sakit". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . keluar berjalan, sehingga sampai kepada Ka'ab. Sewaktu Nabi صلى الله عليه وسلم . masuk ketempat Ka'ab, lalu beliau bersabda: "Gembiralah, hai Ka'ab!". Maka sahut ibu Ka'ab: "Selamat, bagimu sorga, hai Ka'ab!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya: "Siapakah wanita yang bersumpah ini terhadap Allah?". Ka'ab menjawab: "Ibuku, wahai Rasulu'llah!". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menyambung: "Apakah yang memberitahukan kepada engkau, wahai Ibu Ka'ab?. Mungkin Ka'ab berkata perkataan yang tidak diperlukan atau tidak berkata yang diperlukan". (3).
Artinya: sesungguhnya sorga itu disediakan bagi orang yang tidak kena hi­sab (hitungan amal pada hari akhirat). Orang yang berkata-kata, mengenai yang tidak diperlukan, niscaya ia kena hisab amal, walaupun perkataannya pada yang diperbolehkan (mubah). Maka tidak disediakan sorga serta adanya perdebatan pada hisab itu. Sesungguhnya itu adalah semacam azab. Dari Muhammad bin Ka'ab, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersab­da: "Sesungguhnya orang pertama yang masuk dari pintu ini, ialah seorang laki-laki dari penduduk sorga". (4). Maka masuklah Abdullah bin Salam. Lalu bangunlah beberapa orang sahabat Rasulu'llah menyambutnya, seraya mereka menerangkan kepadanya demikian. Mereka berkata kepada Abdul­lah bin Salam: "Terangkanlah kepada kami, amal yang terpercaya pada dirimu, yang engkau harapkan!". Maka Abdullah bin Salam menjawab: "Sesunguhnya aku ini orang yang lemah. Dan amal yang terpercaya, yang aku harapkan pada Allah, ialah: selamat dada(iman)dan meninggalkan apa yang tidak penting (perlu) bagiku."
(1)  Diriwayatkan Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
(2)  Dirawikan At- Tirmizi dari Anas, secara singkat.
(3)  Diriwayatkan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ka'ab bin 'Ajrah dengan inad bagus.
(4)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan ini hadits mursal.
18
Abu Dzar berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepadaku: "Apakah aku tidak memberitahukan kepadamu. amal yang ringan pada badan dan berat pada timbangan?". Lalu aku menjawab: Belum, wahai Rasulu'llah!". Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Yaitu: diam, bagus akhlak dan meninggalkan apa yang tidak penting bagimu"(l).
Mujahid berkata: "Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: "Ada lima hal, yang lebih aku sukai, melebihi dari kuda yang sudah disiapkan untuk di dikenderai, yaituPertama jangan engkau berkata-kata pada yang tidak penting bagi engkau. Karena itu adalah hal yang berlebihan (tidak penting) dan tidak aman engkau dari dosa dan jangan engkau berkata-kata pada yang ti penting bagi engkau, sebelum engkau mendapat tempat bagi perkataan itu. Karena banyak orang yang berkata-kata tentang sesuatu yang penting ba­ginya, yang diletakkannya pada bukan tempatnya. Lalu ia menghadapi kesulitan.
Kedua: jangan engkau bertengkar dengan orang yang lemah-lembut dan orang yang bodoh. Karena orang yang lemah lembut itu, akan marah kepada engkau dalam hatinya dan orang yang bodoh akan menyakiti engkau dengan lidahnya.
Ketiga: sebutlah temanmu apabila ia jauh dari engkau, dengan perkataan yang engkau sukai, ia menyebut engkau. Dan ma'afkanlah dia dari apa yang engkau sukai ia mema'afkan engkau.
Keempat: bergaullah dengan teman engkau dengan cara yang engkau sukai ia bergaul dengan engkau.
Kelima: berbuatlah sebagai perbuatan seseorang yang tahu bahwa perbu­atan itu dibalas dengan baik dan disiksa dengan dosa". Orang bertanya kepada Lukmanul-hakim: "Apakah falsafah hidupmu (hik- mahmu)?". Lukmanul-hakim menjawab: "Aku tidak bertanya tentang sesu­atu yang telah memadai bagiku. Dan aku tidak memberatkan diriku akan se­suatu yang tidak penting bagiku".
Muriq Al-'Ajli berkata: "Suatu hal, aku sudah mencarinya semenjak dua- puluh tahun yang lalu, tetapi aku tidak memperolehnya. Dan aku tidak me­ninggalkan mencarinya". Lalu mereka bertanya: "Apakah hal itu?". Maka Muriq menjawab: "Diam daripada yang tidak penting bagiku" Umar r.a. berkata: "Jangan engkau datangi sesuatu yang tidak penting bagi engkau! Asingkanlah diri dari musuh engkau! Awasilah teman engkau dari orang banyak, kecuaii orang yang kepercayaan! Tidak ada orang yang kepercayaan, selain orang yang takut akan Allah Ta'ala. Jangan engkau temani orang zalim, nanti engkau memperoleh pengetahuan dari kezaliman- nya! Jangan engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusya- warahlah tentang urusan engkau dengan mereka yang takut akan Allah Ta'ala".
Batas perkataan tentang yang tidak penting bagi engkau, ialah: bahwa eng­kau berkata-kata dengan perkataan, dimana jikalau engkau diam dari per­kataan itu, niscaya engkau tidak berdosa. Dan tidak mendatangkan melarat bagi engkau dalam hal dan harta apa pun. Umpamanya: engkau duduk ber-
(1)      Diirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, dengan sanad yang terputus (munqathi).
19
sama orang banyak. Lalu engkau sebutkan kepada mereka tentang perja- lanan engkau dan apa yang engkau lihat dalam perjalanan itu, mengenai gunung-gunung, sungai-sungai, kejadian-kejadian yang terjadi atas diri eng­kau, apa yang engkau rasakan baik, dari hal makanan dan pakaian dan apa yang engkau merasa heran tentang kepala-kepala kampung dan peristiwa- peristiwa mereka.
Inilah hal-hal, jikalau engkau diam daripadanya, niscaya engkau tidak berdosa dan tidak melarat, Apabila engkau berusaha sungguh-sungguh, sehingga ceritera engkau itu tidak bercampur dengan tambahan, dengan kekurangan dan dengan pembersihan diri, dimana merasa bangga dengan menyaksikan hal-hal yang besar dan tidak ada pula mencaci seseorang dan mencela sesuatu dari apa yang dijadikan oleh Allah Ta'ala, maka meskipun demikian semuanya, engkau adalah menyia-nyiakan waktu engkau. Semoga engkau selamat dari bahaya-bahaya yang telah kami sebutkan itu! Diantara jumlah bahaya tersebut, bahwa engkau bertanya kepada orang lain tentang yang tidak penting bagi engkau. Maka dengan pertanyaan itu, engkau menyia-nyiakan waktu engkau. Dan engkau bawa pula teman eng­kau itu dengan jawaban tadi, kepada menyia-nyiakan waktunya. Dan ini, apabila hal itu tidak mendatangkan bahaya pada pertanyaan tersebut. Dan kebanyakan pertanyaan, ada bahayanya. Sesungguhnya engkau menanya- kan orang lain tentang ibadahnya-umpamanya-, lalu engkau bertanya: "Adalah engkau berpuasa?". Kalau ia menjawab: "Ada!", maka orang itu menampakkan ibadahnya. Lalu masuklah ria kepadanya. Jikalau tidak ma­suk ria, niscaya ibadahnya jatuh dari pembukuan rahasia. Dan ibadah rahasia itu, melebihi dari ibadah terang (yang diperlihatkan) dengan beberapa tingkat.
Dan kalau ia menjawab: "Tidak!", maka orang itu membohong. Dan kalau ia diam (tidak menjawab), maka ia menghina engkau. Dan engkau merasa sakit dengan demikian. Dan kalau ia mencari helah untuk menolak jawab­an, niscaya ia memerlukan kepada tenaga dan letih. Maka sesungguhnya engkau telah kemukakan kepadanya pertanyaan, adakalanya karena ria atau bohong atau menghina atau untuk memayahkannya pada mencari he­lah untuk menolak. Dan begitu pula pertanyaan engkau pada ibadah- ibadah lainnya.
Demikian juga, pertanyaan engkau dari hal perbuatan ma'siat dan dari tiap-tiap yang disembunyikannya dan ia malu daripadanya. Dan pertanyaan engkau tentang apa yang dibicarakan orang lain, lalu engkau bertanya ke­padanya: "Apa yang anda katakan? Dan pada soal apa anda sekarang?". Begitu pula engkau melihat manusia dijalan, lalu engkau bertanya: "Dari mana?". Kadang-kadang ada sesuatu yang melarangnya untuk disebutkan- nya. Kalau disebutkannya, niscaya ia merasa sakit dan merasa malu. Dan kalau ia tidak menyebut dengan benar, niscaya ia jatuh dalam kedustaan. Dan adalah engkau yang menjadi sebabnya.
Begitu pula, engkau bertanya tentang sesuatu persoalan, yang tidak perlu bagi engkau. Dan yang ditanya itu, kadang-kadang tidak membolehkan bagi dirinya, untuk mengatakan: "Aku tidak tahu!". Lalu ia menjawab tan- pa melihat lebih jauh.
Aku tidak maksudkan dengan kata-kata yang tidak penting itu, segala jenis yang tersebut. Karena perkataan itu berlaku padanya dosa atau melarat. Contoh perkataan yang tidak penting, ialah apa yang dirawikan, bahwa Lukmanulhakim masuk ketempat Nabi Daud a.s. Dan Nabi Daud a.s. itu sedang menjahit baju besinya. Dan Lukmanulhakim belum pernah melihat baju besi sebelum hari itu. Lalu ia amat heran dari apa yang dilihatnya. Ia bermaksud menanyakannya yang demikian. Tetapi dilarang oleh hikmah- nya (kebijaksanaannya). Maka ia menahan dirinya dan tidak ditanyakannya.
Tatkala telah siap, lalu Nabi Daud a.s. berdiri dan memakai baju besi itu. Kemudian ia berkata: "Bagus sekali baju besi ini untuk perang". Maka Lukman menjawab: "Diam itu suatu hukum dan sedikitlah yang me- laksanakannya".
Artinya: pengetahuan itu berhasil, tanpa ditanyakan. Lalu tidak memerlukan kepada pertanyaan. Ada yang mengatakan, bahwa Lukman pulang pergi kepada Daud a.s. selama setahun. Ia bermaksud mengetahui yang de­mikian, tanpa bertanya.
Inilah dan contoh-contohnya, dari pertanyaan-pertanyaan, apabila tak ada padanya melarat, tidak merusakkan rahasia yang tertutup, tidak menjeru- muskan kedalam ria dan bohong. Dan itu termasuk apa yang tidak penting. Dan meninggalkannya termasuk kebagusan Islam seseorang. Itulah batasnya!
Adapun sebab yang membangkitkan kepada berkata-kata, ialah: ingin me­ngetahui apa yang tidak perlu kepadanya. Atau berbanyak perkataan, ke­pada jalan berkasih-kasihan. Atau mengisi waktu dengan ceritera-ceritera hal-ihwal yang tidak berfaedah.
Obatnya semua itu, ialah: tahu bahwa mati berada dihadapannya. Ia ber- tanggung jawab dari setiap perkataan yang diucapkannya. Nafasnya itu adalah modalnya. Lidahnya itu jala, yang sanggup untuk menangkap bidadari. Maka menyia-nyiakan yang demikian dan membuang-buang waktu­nya, adalah kerugian yang nyata. Inilah obatnya dari segi pengetahuan!
Adapun dari segi amal, maka ialah: mengasingkan diri atau meletakkan batu-kecil pada mulutnya. Membiasakan dirinya diam dari sebahagian yang penting baginya. Sehingga terbiasalah lidahnya, meninggalkan hal yang tidak penting. Dan mengendalikan lidah dalam hal ini bagi orang yang tidak me­ngasingkan diri, adalah sulit sekali.
21
BAHAYA KEDUA: perkataan yang berlebihan.
Itu juga tercela. Dan ini termasuk iurut campur pada yang tidak penting dan menambah pada yang penting sekedar perlu. Karena orang yang mementingkan sesuatu itu mungkin ia menyebutkannya dengan perkataan pendek. Dan mungkin membesarkannya, merretapkan dan mengulang-ulanginya. Dan manakala tercapai maksudnya dengan sepatahkata, lalu disebutnya dua patah kata. Maka kata kedua itu berlebihan, Artinya: berlebihan dari keperluan.
Itu juga tercela, karena apa yang tersebut dahulu, walaupun tak ada dosa dan melarat padanya. 'Atha' bin Abi Rabah berkata: "Bahwa orang-orang sebelum kamu, tidak suka akan perkataan yang berlebihan. Mereka menghitung kata-kata yang berlebihan, selain Kitab Allah Ta'ala dan Sunnah Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . atau amar ma'ruf atau nahi munkar atau engkau memperkatakan keperluan engkau dalam kehidupan engkau, yang tidak boleh tidak. Adakah engkau membantah, bahwa terhadap diri engkau ada para malaikat yang menjaga, yang menulis amalan, duduk dikanan dan dikiri? Apa saja perkataan yang diucapkan, ada padanya yang mengawas dan yang mencatat. Apakah seseorang engkau tidak malu, apabila disiarkan lembarannya yang di-imla'-kan (didiktekan) oleh permulaan siangnya, adalah kebanyakan pa­danya tiada menyangkut dengan urusan Agama dan dunianya?" Dari sebahagian sahabat, ada yang mengatakan: "Bahwa seseorang yang a kan berkata-kata dengan aku dengan suatu perkataan, dimana jawabannya lebih menyukakan aku, dibandingkan dengan air dingin bagi orang yang haus, maka aku tingalkan jawaban itu. Karena takut jawaban itu perkataan yang berlebihan".
Matraf bin Abdullah berkata: "Hendaklah kebesaran Allah itu agung da­lam hatimu! Maka janganlah engkau menyebutkanNya, pada seumpama perkataan salah seorang kamu untuk anjing dan keledai: "Wahai Allah, Tuhanku! Hinakanlah dia". Dan kata-kata lain yang serupa dengan itu". Ketahuilah, bahwa perkataan yang berlebihan itu tidak terhingga banyaknya. Tetapi yang penting itu, terhingga pada Kitab Allah Ta'ala. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:-Artinya: "Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya rapat-rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, orang-orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusi a".S.An-Nisa ayat 114.
22
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
طوبى لمن أمسك الفضل من لسانه وأنفق الفضل من ماله
(Thuubaa li-man amsakal-fadl-la min lisaanihi wa anfaqal-fadhla min ma - lih).
Artinya: "Berbahagialah orang yang menahan kelebihan dari lidahnya dan membelanjakan kelebihan dari hartanya". (1).
Maka perhatikanlah, bagaimana manusia memutar-balikkan keadaan pada yang demikian. Mereka menahan kelebihan harta dn melepaskan kelebihan lidah. Dari Matraf bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan: "Aku datang pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., yang sedang berada dalam kaum keluarga Bani 'Amir. Lalu mereka itu berkata: "Engkau bapa kami! Engkau penghulu ka­mi!. Engkau mempunyai banyak kelebihan dari kami! Engkau lebih gagahdari kami! Engkau pelupuk mata yang cemerlang! Engkau engkau......!".
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Katakanlah perkataanmu! Jangan kamu diumbang-ambingkan oleh setan!' (2).
Hadits ini menunjukkan, bahwa lidah apabila dilepaskan dengan pujian, meskipun benar, maka ditakuti akan diumbang-ambingkan oleh setan, ke­pada kata-kata tambahan yang tidak diperlukan.
Ibnu Mas'ud berkata: "Aku peringatkan kamu akan kelebihan perkataan­mu. Mencukupilah perkataan seseorang manusia, yang menyampaikan akan hajat-keperluannya".
Mujahid berkata: "Bahwa perkataan itu untuk ditulis. Sehingga seorang laki-laki, untuk mendiamkan anaknya, lalu mengatakan: "Aku akan belikan untukmu itu-itu  maka ia akan dituliskan: pembohong".
Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Hai anak Adam! Dibentangkan sebuah lembaran untukmu. Diwakilkan dengan lembaran itu, dua orang malaikat yang mulia, yang akan menuliskan semua amal-perbuatanmu. Maka ber- buatlah apa yang kamu kehendaki! Engkau perbanyakkan atau engkau se- dikitkan!".
Diriwayatkan, bahwa Nabi Sulaiman a.s. mengutus sebahagian jin ifritnya. Dan ia mengutus serombongan manusia yang akan melihat apa yang dikatakan oleh jin ifrit itu. Dan mereka akan menerangkannya kepada Sulai­man a.s. Lalu mereka menerangkan kepada Nabi Sulaiman a.s., bahwa jin ifrit itu melalui sebuah pasar. Lalu ia mengangkat kepalanya kelangit. Ke­mudian, ia melihat kepada manusia banyak dan menggerakkan kepalanya. Maka Sulaiman a.s. bertanya kepada jin ifrit itu tentang yang demikian. Lalu jin itu menjawab: "Aku heran dari hal malaikat diatas kepala manu­sia. Alangkah cepatnya mereka itu menulis. Dan dari mereka yang berada dibawah manusia, alangkah cepatnya mereka itu meimla'kan (mendiktekan)".
(1)  Dirawikan Al-Baihaqi dan lain-lain.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya.
23
Ibrahim At-Taimy berkata: "Apabila orang mukmin itu bermaksud ber- bicara, niscaya ia perhatikan. Kalau ada yang bermanfa'at baginya, maka ia berkata. Kalau tidak, niscaya ia menahan lidahnya dari berkata. Orang za- lim, lidahnya terus-menerus teriepas".
Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak bohongnya. Barangsiapa banyak hartanya, niscaya banyak dosanya. Dan barang siapa buruk akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya".
Amr bin Dinar berkata: "Seorang laki-laki berkata-kata disamping Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu ia membanyakkan perkataannya itu. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . bertanya kepadanya: "Berapa adanya dinding yang menghambat lidahmu?". Laki-la­ki itu menjawab: "Dua bibirku dan gigi-gigiku". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menyambung: 'Apakah pada yang demikian, engkau tiada mempunyai sesuatu yang dapat menolak perkataanmu?" (1).
Pada suatu riwayat, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda yang demikian, pada se­orang laki-laki yang memuji-muji Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu perkataannya itu terlalu bersangatan dan panjang. Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiada diberikan kepada seseorang akan kejahatan dari kelebihan pada lidahnya". Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Sesungguhnya mencegah aku dari ba­nyak berkata-kata, karena takut membanggakan diri". Setengah ahli hikmah (hukama') berkata: "Apabila seseorang berada pada suatu mailis, lalu mena'jubkannya oleh pembicaraan, maka hendaklah ia di­am! Dan jikalau ia diam, lalu mena'jubkannya oleh diam, maka hendaklah ia berkata-kata!".
Yazid bin Abi Habib berkata: "Diantara fitnah orang yang berilmu (orang alim), ialah: berkata-kata lebih disukainya daripada mendengar. Kalau tidak diperolehnya orang yang memadai baginya, maka pada mendengar itu sela­mat dan pada berkata-kata itu, penghiasan, penambahan dan pengurangan". Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya yang lebih berhak dibersihkan oleh se­seorang, ialah: lidahnya".
Abud-Darda' melihat seorang wanita tajam lidah. Lalu berkata: "Kalau wa- nita ini bisu, adalah lebih baik baginya".
Ibrahim An-Nakha'i berkata: "Manusia dibinasakan oleh dua sifat: kele­bihan harta dan kelebihan perkataan".
Inilah kecelakaan kelebihan perkataan, banyaknya dan sebabnya yang menggerakkan kepadanya. Dan obatnya, ialah tidak mendahului pada per­kataan, mengenai yang tidak penting!.
(1) Diriwayatkan Ibnu Abid-Dun-ya, hadits mursal. Orang-orangnya kepercayaan.
24
BAHAYA KETIGA: bercakap kosong pada yang batil.
Yaitu: perkataan pada perbuatan ma'siat, seperti: menceriterakan hal-keadaan wanita, hal keadaan tempat minuman khamar, tempat orang-orang fa-
sik, kesenangan orang-orang kaya, keperkasaan raja-raja, tempat-tempat resmi mereka yang tercela dan hal-ihwal mereka yang tidak disukai. Maka semua itu termasuk diantara yang tidak halal bercakap kosong pada­nya. Dan itu: haram.
Adapun berkata-kata pada yang tidak penting atau lebih banyak daripada yang penting, maka itu adalah meninggalkan yang utama. Dan tak'ada ha­ram padanya. Benar, bahwa orang yang banyak berkata-kata pada yang ti­dak penting, niscaya ia tiada akan aman daripada bercakap kosong pada yang batil. Dan kebanyakan manusia itu suka duduk-duduk, untuk berse- nang-senang dengan percakapan. Dan perkataannya tidak melampaui untuk bersedap-sedap memperkatakan kehormatan orang lain atau bercakap ko­song pada yang batil.
Macamnya yang batil itu, tidak mungkin dihinggakan, karena banyaknya dan bermacam-macam.Maka karena itulah, tiada yang melepaskan dari ber macam-macam batil itu, selain dengan menyingkatkan perkataan kepada yang penting dari kepentingan - kepentingan Agama dan dunia. Dalam jenis ini, terjadilah kata-kata yang membinasakan yang punya kata- kata itu, pada hal ia memandang enteng akan kata-kata tersebut, Bilal bin Al-Harts berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang berkata-kata dengan perkataan dari kerelaan Allah, akan apa yang disang- kanya, bahwa perkataan itu akan sampai apa yang sampai, maka Allah me- nulis dengan perkataan itu akan kerelaanNya sampai kepada hari kiamat. Dan sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan dari kema- rahan Allah, akan apa yang disangkanya, bahwa perkataan itu, akan sampai apa yang sampai, maka Allah menuliskan kemarahanNya kepada orang itu sampai hari kiariiat", (1).
'Alqamah berkata: "Berapa banyak perkataan yang melarang aku menga- takannya, oleh hadits Bilal bin Al-Harts diatas ini". Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan yang menertawakan teman-teman duduknya, maka ia akan jatuh dengan perkataan itu, lebih jauh dari bintang Surayya". (2). Abu Hurairah berkata: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata dengan perkataan, yang tiada dijumpainya bagi perkataan itu hal yang penting, maka ia akan jatuh dalam neraka jahannam. Dan sesungguhnya, orang yang berkata-kata dengan perkataan, apa yang dijumpainya bagi perkataan itu, hal yang penting, maka ia diangkat oleh Allah kedalam sorga terting-
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Manusia yang terbesar dosanya pada hari kiamat, ia­lah orang yang paling banyak turut campur, dalam hal yang batil". (3). Ke-
(1)  Dirawikan Ibnu Majah dan At-Tirmizi. Hadits ini hasan dan shahih.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dariAbi Hurairah, dengan sanad hasan.
(3) Dirawikan, di antara lam oleh Ath-Thabrani dari Ibni Mas'ud, dengan sanad shahih.
25
pada hadits inilah diisyaratkan dengan finnan Allah Ta'ala:- (Wa kunnaa nakhuudlu ma'al-khaa-i-dliin).
Artinya: "Dan kami bercakap kosong bersama-sama dengan orang-orang yang bercakap kosong". S.Al-Muddatstsir, ayat 45.
Dan dengan firman Allah Ta'ala;-
(Fa laa taq-'uduu ma'ahum hattaa ya-khuudluu fii ha-diitsin ghai-rihi, innakum idzan mits-luhum).
Artinya: "Maka janganlah kamu duduk dekat mereka, kecuali kalau mereka masuk untuk pembicaraan yang lain. Kalau kamu berbuat begitu, tentulah kamu serupa dengan mereka".S.An-Nisa',ayat 140.
Salman Al-Farisi berkata: "Manusia yang terbanyak dosanya pada hari ki­amat, ialah yang terbanyak perkataannya pada perbuatan ma'siat terhadap Allah".
Ibnu Sirin berkata: "Adalah seorang laki-laki dari golongan anshar (pen- duduk Madinah yang membantu Nabi صلى الله عليه وسلم .) melalui suatu majlis orang-o­rang anshar itu. Lalu orang itu berkata kepada mereka: "Berwudlu lah (am- billah air sembahyang)! Karena sebahagian yang kamu katakan itu, lebih jahat dari hadats".
Inilah yang dikatakan bercakap kosong pada yang batil! Yaitu: dibalik apa yang akan diterangkan nanti, tentang: upatan, lalat merah, perkataan keji dan lainnya. Bahkan itu, bercakap kosong, pada menyebutkan hal-hal yang terlarang, yang telah dahulu adariya. Atau berpikir untuk sampai kepada­nya, tanpa ada keperluan keagamaan kepada menyebutkartnya. Dan masuk pula pada yang demikian, bercakap bohong pada ceritera-ceritera bid'ah dan aliran-aliran yang merusak dan ceritera yang terjadi pada pe- perangan antara para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم . dengan cara yang meragukan ca- cian terhadap sebahagian mereka.
Semua itu batil. Dan bercakap kosong padanya, adalah bercakap kosong pa­da yang batil. Kami bermohon pada Allah akan baiknya pertolongan dengan kasih sayang dan kemurahanNya!.
26
BAHAYA KEEMPAT: perbantahan dan pertengkaran. Yang demikian itu terlarang. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-(Laa tumaari akhaaka wa laa tumaazihhu wa laata'id-hu mau'idanfa tukh- lifah).
Artinya: "Jangan kamu berbantah-bantahan dengan saudaramu, jangan ka­mu bersenda-gurau dan menjanjikan dengan dia sesuatu janji, lalu engkau menyalahi janji itu!".(l).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
ذروا المراء فإنه لا تفهم حكمته ولا تؤمن فتنته
(Dza'rul-miraa-a fa innahu laa tufhamu hikmatuhu wa laa tu'ma-nu fitna- tuh).
Artinya: "Tinggalkanlah perbantahan. Karena dengan perbantahan, tiada akan dipahami hikmah dan tidak akan aman dari fitnah". (2).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu benar, niscaya dibangun suatu rumah baginya dalam sorga tertinggi. Dan ba­rangsiapa meninggalkan perbantahan dan dia itu dalam hal yang batil, nis­caya dibangun baginya suatu rumah ditengah-tengah sorga". (3)
Dari Ummi Salmah r.a., yang mengatakan: "Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Bahwa yang pertama-tama diberi-tahukan kepadaku oleh Tuhanku dan dilarang aku daripadanya, sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah: mencaci orang". (4).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Tiada sesatlah suatu golongan, sesudah mereka mendapat petunjuk Allah, selain oleh karena mereka suka bertengkar". (5).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Tiada akan sempurna hakikat iman bagi se­seorang hamba, sebelum ia meninggalkan perbantahan, walaupun ia dipihak yang benar". (6).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Barangsiapa ada padanya enam perkara, nis­caya ia sampai pada hakikat iman, yaitu: berpuasa pada musim panas, memukul musuh Allah dengan pedang, menyegerakan shalat pada hari hujan lebat, bersabar diatas semua musibah, meratakan wudlu' diatas semua tem­pat yang tidak disenangi dan meninggalkan perbantahan, walaupun ia be­nar". (7).
Az-Zubair berkata kepada puteranya: "Jangan kamu bertengkar dengan orang, dengan menggunakan AI-Qur-an! Karena kamu tiada akan sanggup menghadapi mereka. Akan tetapi haruslah kamu menggunakan Sunnah Na­bi صلى الله عليه وسلم ."
Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Barangsiapa menjadikan agamanya alat
(1)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas. Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(2)  Dirawikan Ath-Thabrani dari Abid-Darda', Anas bin Malik, Abi Amamah dan Wailah bin AI-Asqa' dengan isnad dia 'if.
(3)  Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas.
(4) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dengan sanad dla'if.
(5)  Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Amamah dan dipandangnya shahih.
(6) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah dengan sanad dla'if.
(7)  Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Abi Malik Al-Asy'ari dengan sanad dla'if.
27
Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Barangsiapa menjadikan agamanya alat permusuhan, niscaya membanyakkan ia berpindah tempat". Muslim bin Yassar berkata: "Jagalah kamu dari perbantahan! karena per­bantahan itu sa'at bodohnya orang berilmu. Dan pada sa'at itulah, setan berusaha supaya ia tergelincir".
Ada yang mengatakan, bahwa suatu kaum itu tiada akan sesat, karena me­reka sudah mendapat petunjuk Allah, selain disebabkan pertengkaran. Malik bin Anas r.a. berkata: "Pertengkaran itu tiada mempunyai arti apapun dari agama". Ia berkata pula: "Perbantahan itu mengesatkan hati dan mempusakai kedengkian".
Lukman berkata kepada puteranya: "Hai anakku! Jangan engkau berteng­kar dengan ulama, nanti mereka sangat marah kepada engkau!". Bilal bin Sa'ad berkata: "Apabila engkau melihat seseorang bersikap keras kepala, suka bertengkar dan membanggakan dengan pendapatnya, maka su­dah sempurnalah kerugiannya".
Sufyan berkata: "Jikalau aku berselisih dengan temanku tentang buah de- lima, ia mengatakan manis, tetapi aku mengatakan masam, niscaya ia akan membawa aku kepada sultan". Sufyan berkata pula: "Ikhlaskanlah dengan cinta-kasih kepada siapa saja yang engkau kehendaki. Kemudian, engkau membuat kemarahannya dengan pertengkaran, Maka ia akan melemparkan engkau dengan kecerdikannya, yang menyusahkan engkau dalam kehidupan
Ibnu Abi Laila berkata: "Aku tiada akan berbantah dengan temanku. Ka­rena akibatnya, adakalanya aku akan mendustainya dan adakalanya aku a- kan memarahinya".
Abud-Darda' berkata: "Cukuplah dosa bagimu, bahwa kamu senantiasa ber- bantah-bantahan".
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
تكفير كل لحاء ركعتان
(Takfiiru kulli lihaa-in rak-'ataan).
Artinya: "Untuk kafarat (menutupkan dosa) pertengkaran, ialah dua ra- ka'at shalat" (1).
Umar r.a. berkata: "Jangan.engkau mempelajari ilmu karena tiga perkara dan jangan pula engkau meninggalkan belajar karena tiga perkara. Yaitu: ja­ngan engkau belajar karena untuk berbantah-bantahan, karena untuk memenyombong dan karena untuk memperlihatkan kepada orang (untuk ria). Dan jangan engkau meninggalkan belajar, karena malu menuntut ilmu, karena zuhud dan karena rela menjadi orang bodoh!". Nabi Isa a.s. berkata: "Barangsiapa banyak dustanya, niscaya hilang kecantikannya. Barangsiapa suka bertengkar dengan orang, niscaya gugur (hi­lang) kehormatannya. Barangsiapa banyak dukanya, niscaya sakit tubuhnya.(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amamah dengan sanad dla'if.
28
Dan barangsiapa jahat akhlaknya, niscaya ia menyiksakan dirinya sendiri". Orang bertanya kepada Maimun bin Mahran (penulis khalifah Umar bin Ab­dul-aziz): "Mengapa engkau tiada meninggalkan teman dari kemarahan?". Maimun bin Mahran menjawab: "Karena aku tiada bermusuhan dan tiada berbantahan dengan dia".
Apa yang tersebut tentang celaan terhadap perbantahan dan pertengkaran, adalah banyak dari dapat dihinggakan. Dan batas perbantahan itu, ialah: tiap-tiap penentangan terhadap perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya. Adakalanya pada kata-kata atau pada arti atau pada maksud dari yang mengatakan itu sendiri. Meninggalkan perbantahan itu, ia­lah dengan jalan meninggalkan perlawanan dan pertentangan. Maka setiap perkataan yang anda dengar, kalau benar, maka benarkanlah. Dan kalau batil (salah) atau bohong dan tiada menyangkut dengan urusan Agama, maka diam sajalah!
Mengecam perkataan orang lain, sekali adalah pada kata-katanya, dengan melahirkan cacat padanya, dari segi tata-bahasa atau dari segi bahasa atau dari segi bahasa Arabnya atau dari segi susunan dan tertib kata, dengan buruknya mendahulukankata-kataataumengemudiankannya.Padalain kali, ka­rena kurangnya pengetahuan.Dan pada lain kali lagi, disebabkan karena selipnya lidah.
Maka bagaimanapun adanya, tiada cara untuk melahirkan kecacatannya. Adapun mengenai arti kata, ialah, bahwa dikatakan: Tidaklah seperti yangengkau katakan. Engkau salah pada arti kata itu, dari segi anu        segi anu"
Adapun pada maksud perkataan, maka umpamanya, bahwa dikatakan: Per­kataan ini benar, akan tetapi, tidaklah maksud engkau dari padanya itu be­nar. Dan engkau padanya mempunyai maksud tertentu". Dan hal-hal lain yang berlaku seperti demikian.
Hal yang seperti ini, kalau berlaku pada masaalah ilmiah, kadang-kadang dikhususkan dengan nama: perdebatan. Ini juga tercela. Bahkan harus diam atau bertanya, dalam arti: ingin memperoleh faedah. Tidak atas cara kedengkian dan penentangan. Atau berlemah-lembut pada memperkenalkan, tidak dalam cara mengemukakan kecaman.
Mujadalah (bertengkar), adalah ibarat dari maksud mendiamkan orang lain dengan alasan (hujjah), melemahkannya dan mengurangkannya dengan ce­laan pada perkataannya, menghubunginya kepada keteledoran dan kebodohan.
Tandanya yang demikian, ialah: bahwa peringatannya kepada kebenaran dari segi yang lain itu tidak disukai oleh pihak yang bertengkar. Ia suka, bah­wa ia yang melahirkan keSalahan orang yangbertengkar itu, supaya terang de­ngan demikian, kelebihan dirinya dan kekurangan temannya. Dan tiada ja­lan kelepasan dari ini, selain dengan diam, dari tiap-tiap yang tidak akan ber- dosa, kalau didiamkan.
29
Adapun penggerak kepada pertengkaran itu, ialah ingin tinggi dengan mela­hirkan ilmu-pengetahuan dan kelebihan. Dan menyerang orang lain, dengan melahirkan kekurangannya.
Itulah dua nafsu-keinginan batiniah yang kuat bagi diri seseorang. Adapun melahirkan kelebihan diri, maka itu termasuk segi membersihkan diri. Dan itu, sebahagian dari kehendak apa yang terkandung pada seseo­rang, dari durhakanya pendakwaan tinggi dan sombong, Dan itu adalah ter­masuk sifat ketuhanan.
Adapun mengurangkan orang lain, maka itu termasuk diantara kehendak si­fat binatang buas. Ia menghendaki mengoyak-ngoyakkan lainnya, mema- tahkannya, memukulkannya dan menyakitinya.
Inilah dua sifat tercela, yang membinasakan. Kekuatan dua sifat ini, ialah: perbantahan dan pertengkaran. Orang yang biasa berbantah dan bertengkar itu menguatkan sifat-sifat ini yang membinasakan. Dan ini melampaui batas kemakruhan (perbuatan yang tidak disukai Agama), Tetapi itu, suatu per­buatan ma'siat, manakala terjadi padanya menyakitkan orang lain. Dan ber- bantah-bantahan itu, tiada teriepas dari menyakitkan, mengobarkan kemarahan dan membawa orang yang sudah melakukannya untuk mengulangi kembali. Lalu ia menolong perkataannya, dengan apa saja yang mung­kin, baik yang hak atau yang batil. Ia mencela pada yang mengatakannya, dengan apa saja yang tergambar baginya. Lalu berkobarlah pertengkaran di­antara dua orang yang bertengkar itu, sebagaimana berkobarnya perkela- hian diantara dua ekor anjing. Masing-masing bermaksud menggigit temannya, dengan cara yang lebih menewaskan, lebih kuat mendiamkan dan mencambukkan.
Adapun pengobatannya, ialah: dengan menghanciirkan kesombongan yang menggerakkannya kepada melahirkan kelebihannya.. Dan menghancurkan sifat binatang buas yang menggerakkannya kepada melahirkan kekurangan orang lain. Sebagaimana akan datang yang demikian nanti penjelasannya pada "Kitab Celaan kesombongan Dan Mengherani Diri" dan "Kitab Ce­laan Marah".
Sesungguhnya pengobatan setiap penyakit, ialah: dengan menghilangkan sebabnya. Dan sebab perbantahandan pertengkaran, ialahapa yang telah kami sebutkan dahulu.
Kemudian membiasakan diri pada perbantahan itu menjadikannya kebiasaan dan sifat diri (tabiat). Sehingga menetap pada diri dan sukar bersabar daripadanya.
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah r.a. bertanya kepada Daud Ath- Tha-i: "Mengapa engkau memilih disudut?"
Daud Ath-Tha-i menjawab: "Untuk berjuang dengan diriku, meninggalkan pertengkaran".
Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Hadirilah semua majlis dan dengarlah apa yang dikatakan orang dan jangan engkau berkata-kata.'".
30
Daud Ath-Tha-i menerangkan seterusnya: "Lalu aku perbuat demikian. Ma­ka tiada aku melihat perjuangan yang lebih berat atas diriku dari itu". Dan itu benar, sebagaimana dikatakannya. Karena orang yang mendengar ke- salahan dari orang lain dan ia sanggup membukakannya, niscaya sukar se­kali baginya bersabar ketika itu. Karena itulah, Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ba­rangsiapa meninggalkan perbantahan, sedang ia dipihak yang benar, nisca­ya dibangun oleh Allah baginya suatu rumah dalam sorga tertinggi". Kare­na sangat berat yang demikian kepada jiwa.
Kebanyakan yang terjadi demikian,padaaliran-alirandanaqidah-aqidah. Ka­rena perbantahan itu adalah suatu tabiat. Apabila ia menyangka akan mem peroleh pahala, niscaya bersangatanlah keinginannya dan bertolong- tolonglah antara tabiat dan agama padanya.
Dan itu adalah salah semata-mata. Tetapi sayogialah bagi manusia, mencegah lidahnya dari ahli-qiblah (orang yang ta'at menghadap kiblat dengan shalat). Apabila melihat orang berbuat bida'ah, maka dengan lemah-lembut menasehatinya pada tempat. sepi, tidak dengan jalan pertengkaran. Karena pertengkaran itu menggambarkan kepadanya, bahwa itu adalah suatu usaha untuk mengacaukan. Dan itu adalah suatu bikinan, dimana orang-orang yang suka bertengkar dari ahli alirannya, sanggup berbuat seperti itu, jikalau mereka mau. Lalu terus-meneruslah bid'ah itu dalam hatinya dan bertambah kuat, disebabkan pertengkaran itu.
Apabila diketahui bahwa nasehat tidak bermanfa'at, maka berbuatlah untuk diri sendiri dan tinggalkanlah orang itu.
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
رحم الله من كف لسانه عن أهل القبلة إلا بأحسن ما يقدر عليه
(Rahimal-laahu'man kaffa lisaanahu'an ahlil-qiblati illaa bi-ahsani maa yaq- diru alaihi).
Artinya: "Allah mengasihi orang yang mencegah lidahnya dari ahli qiblah, kecuali dengan sebaik-baiknya apa yang disanggupinya". (1).
Hisyam bin 'Urwah berkata: "Adalah Nabi s.a.'w. mengulang-ulangi sabdanya tadi tujuh kali".
Setiap orang yang membiasakan bertengkar pada suatu waktu dan ia memujikan manusia kepadanya, dan ia memperoleh bagi dirinya dengan sebab demikian, kemuliaan dan penerimaan, niscaya menguatlah segala yang membinasakan ini padanya. Dan ia tidak akan sanggup lagi menyebut di­rinya daripada yang membinasakan itu, apabila berkumpul padanya, kekuasaan marah, sombong, ria, suka kemegahan dan membanggakan diri dengan kelebihan. Dan masing-masing sifat ini sukar melawannya. Maka bagaimana pula dengan berkumpulnya sifat-sifat itu?
(1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Hisyan bin 'Urwah dengan isnad dha'if.
31
BAHAYA KELIMA: permusuhan.
Sifat ini juga tercela. Dan dia itu, dibalik pertengkaran dan perbantahan. Perbantahan itu, tusukan pada perkataan orang lain, dengan melahirkan kekurangan padanya, tanpa terikat dengan suatu maksud, selain untuk menghina orang lain dan melahirkan kelebihan kecerdikan diri sendiri. Pertengkaran itu, ibarat sesuatu hal, yang menyangkut dengan melahirkan aliran-aliran dan menetapkannya. Dan permusuhan itu, gelombang pada perkataan, untuk memperoleh kesempurnaan harta atau sesuatu hak yang dimaksud. Yang demikian itu, sekali adalah permulaan dan pada kali yang lain, adalah teguran. Dan perbantahan itu tidak ada;selain dengan teguran terhadap perkataan yang sudah terdahulu. 'A'syah r.a: berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
(Inna abghadlar-rijaali ilal-laahil-aladdul-khashim).
إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم
Artinya:''Orang yang sangat dimarahi oleh Allah, ialah orang yang sangat bermusuhan".(l).
Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa berteng­kar dalam suatu permusuhan, tanpa ilmu, niscaya senantiasalah ia dalam a- marah Allah, sehingga ia meneabut dirinya daripadanya1'. (2). Sebahagian mereka berkata: "Jagalah dirimu dari permusuhan!. Karena permusuhan itu menghapuskan agama". Dan dikatakan, bahwa wang wara' tidak sekali-kali bermusuhan mengenai agama.
Ibnu Qutaibah berkata: "Datang padaku,Bisyr bin Abdullah bin AbiBak- rah. Lalu ia bertanya: "Apakah yang menyebabkan engkau duduk disini?. Aku jawab, lantaran permusuhan antaraku dan anak pamanku". Lalu Bisyr berkata: "Bahwa ayahmu mempunyai perbuatan baik padaku. Dan aku ber­maksud membalasnya kepadamu. Dan demi Allah, aku tiada melihat suatu pun yang menghilangkan agama, yang mengurangkan kepribadian, yang me­nyia-nyiakan kesenangan dan yang mengganggu hati, selain dari permusuh an .
Ibnu Qutaibah meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bangun berdiri, hendak pergi. Maka musuhku berkata kepadaku: "Apa kabar engkau sekarang?". Lalu aku jawab: "Tidak ada akan aku bermusuh lagi dengan engkau". Mu- suh itu berkata: "Sesungguhnya engkau tahu, bahwa kebenaran adalah pada pihakku". Lalu aku jawab: "Tidak, aku tidak tahu. Tetapi aku muliakan diriku dari hal itu". Maka musuh itu menjawab: "Aku tiada meminta sesuatu daripadamu, yang menjadi milikmu!".
(1)  Dirawikan Al-Bukhari dari Aisyah r.a.
(2)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ai-Ishfahani dari Abu Hurairah dan dipandang dla'if oleh kebanyakan ulama hadits.
32
Jikalau anda bertanya, bahwa apabila manusia mempunyai sesuatu hak, ma­ka tak boleh tidak ia bermusuhan pada menuntutnya atau pada menjaganya, manakala ia dianiaya oleh orang zalim. Maka bagaimana hukumnya dan ba- gaimana mencela permusuhannya?
Ketahuilah kiranya, bahwa celaan ini termasuk yang bermusuhan dengan yang batil dan yang bermusuhan, tanpa ilmu, seperti wakil hakim (qadli). Maka wakil hakim itu sebelum mengetahui bahwa hak itu pada pihak yang mana, maka ia menyerah pada permusuhan itu, dari pihak mana adanya. Lalu ia bermusuhan, tanpa ilmu. Dan termasuk orang yang menuntut hak- nya. Tetapi ia tidak membatasi sekadar perlu saja. Bahkan ia melahirkan ke- sangatan permusuhan itu, dengan maksud menguasai atau dengan maksud menyakiti. Dan termasuk orang yang mencampurbaurkan dengan permusuhan itu, kata-kata yang menyakitkan, yang tidak diperlukan untuk menolong alasan dan melahirkan kebenaran. Dan termasuk pula orang yang dibawa kepada permusuhan itu oleh kedengkian semata-mata, untuk memaksakan musuh dan menghancurkannya, sedang ia kadang-kadang memandang leceh harta yang sekadar itu.
Dan dalam manusia, ada orang yang menegaskan demikian, seraya berkata: "Sesungguhnya maksudku itu, dengki kepadanya dan menghancurkan ke- hormatannya. Sesungguhnya, jikalau aku mengambil harta ini daripadanya, mungkin aku lemparkan kedalam sumur. Dan aku tidak perduli". Inilah maksudnya yang sangat bersangatan, permusuhan dan perbantahan. Dan itu tercela sekali.
Adapun orang yang teraniaya, yang menolong alasannya (hujjahnya) dengan jalan Agama,, tanpa bersangatan, berlebih-lebihan dan tambahan perban­tahan sekadar perlu, tanpa maksud kedengkian dan menyakitkan, maka per­buatan yang demikian tidak haram. Tetapi yang lebih utama ditinggalkan, bila diperoleh jalan lain. Karena mengekang lidah pada permusuhan dalam batas sederhana, adafeih sukar. Dan permusuhan itu memenuhi dada dan mengobarkan kemarahan. Apabila kemarahan itu telah berkobar, niscaya lupalah apa yang dipertengkarkan. Dan kekallah kedengkian diantara dua orang yang bermusuhan itu. Sehingga masing-masifig bergembira dengan nasib buruk temannya. Dan merasa susah dengan gembiranya teman itu. Dan lidah dilepaskan terhadap kehormatan teman tersebut. Siapa yang memulai permusuhan, maka sesungguhnya ia telah mendatangi bagi segala yang harus diawasi itu. Sekurang-kurangnya apa yang padanya mengacaukan batinnya. Sehingga ia dalam shalatnya, berbuah untuk meng- hadapi musuhnya. Maka hal itu tidak tinggal atas batas yang wajib saja. Permusuhan itu permulaan tiap-tiap kejahatan. Begitu pula perbantahan dan pertengkaran. Maka sayogialah tidak dibuka pintunya, selain karena darurat. Dan ketika darurat itu, sayogialah lidah dan hati dijaga dari akibat- akibat permusuhan. Dan yang demikian itu memang sukar sekali.
33
Barangsiapa membatasi dalam permusuhannya kepada yang perlu saja, nis­caya ia selamat dari dosa. Dan tidak tercela permusuhannya, kecuali kalau ia tidak memerlukan kepada permusuhan, mengenai. apa yang dipermusuhkan itu. Karena padanya, ada yang mencukupkannya. Maka adalah ia mening­galkan untuk yang lebih utama. Dan tidaklah ia orang berdosa. Benar", sekurang-kurangnya dalam permusuhan, perbantahan dan pertengkaran itu, hi- langnya perkataan yang baik dan pahala yang dapat diperoleh padanya. Ka­rena sekurang-kurangnya tingkat perkataan yang baik itu, melahirkan perse- tujuan. Dan tak ada perkataan yang kasar, yang lebih besar daripada tusu- kan dan teguran, yang hasilnya, adakalanya membodohkan dan adakalanya mendustakan. Sesungguhnya orang yang bertengkar dengan orang lain atau berbantah-bantahan atau bermusuh-musuhan, maka ia telah membodohkan atau mendustakan orang tersebut. Lalu lenyaplah dengan dia perkataan yang baik.
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
يمكنكم من الجنة طيب الكلام وإطعام الطعام
(Yumakkinukum minal-jannati thayyibul-kalaami wa ith'aamuth-tha'aami). Artinya: Menjadikan kamu dari isi sorga, oleh perkataan yang baik dan memberi makanan (kepada orang yang memerlukan)"(l). Allah Ta'ala berfirman:-
وقولوا للناس حسنا
(Wa quuluu lin-naasi husnaa).
Artinya: "Dan katakanlah perkataan yang baik kepada manLsia!". -S.A1- B'aqarah, ayat 83.
Ibnu Abbas r.a. berkata: "Siapa saja dari makhluk Allah memberi salam ke- padamu, maka jawablah salam itu, walaupun ia orang. majusi (penyembah api). Karena Allah' Ta'ala berfirman:-
وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن
(Wa idzaa huyyiitum bi-tahiyyatin, fa hayyuubi-ahsanaminhaaau ruddmiha). Artinya: "Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) dengan cara yang lebih baik atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya)!".S.An-Nisaayat 86. Ibnu Abbas berkata pula: "Kalau sekiranya Firun berkata baik kepadaku, niscaya aku balas kepadanya (dengan baik)".
34
(1) 1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Jabir. Dan menurut Al-Iraqi, ada dari perawinya,orang yang tidak dikenalnya..
Anas berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya dalam sorga a­da beberapa kamar, yang dilihat lahirnya (luarnya) dari batinnya (dafamnya) dan batinnya dari lahirnya. Kamar-kamar itu disediakan oleh Allah Ta'ala kepada orang yang memberi makanan dan melembutkan perkataan".(l).
Diriwayatkan, bahwa Nabi Isa a.s. dilewati seekor babi, lalu ia berkata: "Lalulah dengan selamat!". Lalu orang bertanya kepadanya: "Wahai Ruhu'llah! Engkau katakan yang demikian itu kepada babi?".
Maka Nabi Isa a.s. men­jawab: "Aku tidak suka membiasakan lidahku dengan yang buruk".
Nabi kita صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Kata yang baik itu sedekah".(2)
Nabi صلى الله عليه وسلم . ber­sabda: "Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun dengan sekeping tamar! Kalau kamu tidak memperolehnya, maka dengan perkataan yang baik!"(3).
Umar r.a. berkata: "Kebajikan itu barang yang mudah; muka yang jernih dan perkataan yang lemah lembut".
Setengah hukama' berkata: "Perkataan yang lemah lembut itu membasuhkedengkian yang tersembunyi dalam anggota badan".
Setengah hukama' berkata: "Tiap-tiap perkataan yang tidak memarahkan tuhanmu, melainkan juga kamu me'nyenangkan orang yang duduk bersamamu. Maka janganlah kamu kikir terhadap perkataan itu! Mudah-mudahan akan menggantikan kepadamu, pahala orang yang berbuat baik daripadanya".
Ini semua mengenai kelebihan perkataan yang baik. Dan lawannya, ialah: permusuhan, perbantahan, pertengkaran dan pergaduhan. Itu adalah perka­taan yang tidak disukai, yang meliarkan, yang menyakitkan hati, yang mengeruhkan kehidupan, menggerakkan kemarahan dan yang menyesakkan dada. Kita bermohon kepada Allah akan kebagusan taufiq dengan nikmat dan kurniaNya!
(1)
Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Suwaid bin Sa'id.
(2)
Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
(3)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari'Uda bin Hatim.
BAHAYA KEENAM: berbuat dalamnya keluar kata-kata dalam rahang, berbuat sajak dan kelancaran berbicara dengan dipaksakan, berbuat-buat dengan kata-kata kemuda-mudaan dan kata-kata pendahuluan dan apa yang biasa dilakukan oleh kebiasaan orang-orang yang membuat-buat kelancaran berbicara, yang menyerukan kepada berpidato,Semua yang tersebut itu, termasuk bikin-bikinan yang tercela dan termasuk yang dipaksa-paksakan yang tercela, dimana Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
أنا وأتقياء أمتي برءاء من التكلف
(Ana wa atqiaa-u ummatii bura-aa-u minat-takalluf).
Artinya: "Aku dan ummatku yang taqwa itu teriepas daripada yang di paksa-paksakan (at-takalluf)" (1).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya yang lebih aku marahi dan yang lebih jauh tempat duduknya daripadaku, ialah: orang-orang yang berbicara melantur kesana kemari, yang berbuat seolah-olah memahami dan yang ber­bicara, yang keluarnya dari rahang" (2).
Fatimah r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ummatku yang paling jahat, ialah: mereka yang makan dengan kenikmatan, memakan ber-macam- macam warna makanan, memakai bermacam-macam warna kain dan ber­bicara dengan mengeluarkan perkataan dari rahang" (3).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Ketahuilah, orang-orang tanath-thu' itu binasa". Ti­ga kali beliau صلى الله عليه وسلم . menyabdakannya (4).Tanath-thu', yaitu: mendalam-dalamkan dan menghabis-habiskan keluarnya perkataan.
Umar r.a. berkata: "Perkataan yang gemuruh itu adalah dari gemuruhnya suara setan".
Amr bin Sa'ad bin Abi Waqqash datang kepada ayahnya Sa'ad, meminta sesuatu keperluan. Lalu ia berkata dengan perkataan yang membentangkan hajat-keperluannya.Lalu menjawab Sa'ad: "Adalah aku lebih jauh dari hajatmu pada hari ini. Aku mendengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Akan da­tang kepada manusia suatu zaman, dimana mereka menyelang-nyelangi per­kataan dengan lidahnya, seperti sapi betina menyelang-nyelangi rumput de­ngan lidahnya". (5). Seakan-akan Sa'ad membantah apa yang dikemukakan oleh anaknya, atas perkataan dari kemuda-mudaan dan kata pendahuluan yang dibuat-buat, secara dipaksakan.
Ini juga termasuk bahaya lidah. Dan masuk juga dalam bahagian ini, setiap sajak yang disusun secara berat."Begitu pula kata-kata yang faseh (kepandaian bercakap), yang keluar dari batas kebiasaan. Begitu pula sajak yang dibuat dengan berat pada percakapan-percakapan. Karena Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menghukum kuatnya air pada janin (budak dalam kandungan). Lalu berkata setengah kaum yang menganiaya: "Bagaimana basah orang yang ti­dak minum, orang yang tidak makan, tidak menjerit dan tidak berkata de­ngan suara nyaring. Hal yang seperti itu batil. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Adakah sajak itu seperti sajaknya Arab badui?"(6). Nabi صلى الله عليه وسلم . menentang yang demikian. Karena kesan memberat-berati dan berbuat-buat itu nyata sekali pada perkataan tersebut. Tetapi sayogialah di-
(1)   Dirawikan AdrDaraquthni dari Az-Zubair bin Al-'Awwam. hadits marfu
(2)  Dirawikan Akmad dari Abi Tsa'labah.
(3)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Baihaqi.
(4)  Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(5)  Dirawikan Ahmad dari Sa'ad.
(6)  Dirawikan Muslim dari Al-Mughirah bin Syubah dan Abu Hurairah.
36
Tetapi sayogialah disingkatkan pada tiap-tiap sesuatu itu diatas maksudnya. Dan maksud perka­taan itu, ialah memberi pemahaman kepada maksud. Dan dibalik yang de­mikian, adalah dibuat-buat, yang tercela.
Tidak masuk pada katagori ini, membaguskan kata-kata pidato dan peri- ngatan tanpa berlebih-lebihan dan keganjilan. Karena yang dimaksud dari pidato itu menggerakkan hati, menyukakannya, menggenggam dan mem- bentangkannya. Maka karena manisnya kata-kata itu mempunyai bekas pa­danya. Dan itu adalah layak.
Adapun pembicaraan-pembicaraan yang berlaku untuk menunaikan keperluan, maka tidak layak bersajak, mengeluarkan perkataan yang keluar dari rahang dan melaksanakannya dengan dipaksakan, yang tercela. Dan tak ada penggerak kepada yang demikian, selain oleh ria, melahirkan kefasehan (kelancaran berkata-kata) dan perbedaan diri dengan kecerdikan. Semua itu tercela, tidak disukai oleh Agama dan dilarang daripadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar